Ni Wayan, Ekaliani
(2011)
AWAL MULA MUNCULNYA TARI LEGONG SAMBEH BINTANG.
Artikel Bulan Agustus (2011), 2 (8).
p. 1.
Abstract
Untuk menjelaskan awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini digunakan teori Religi. Taylor mengungkapkan bahwa religi adalah suatu keper-cayaan atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang yang membuat mereka wajib melakukan sesuatu untuk persembahan baik dalam bentuk perilaku, sesaji untuk upacara ritual, maupun tarian untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Sang Maha Pencipta Alam Semesta/Tuhan Yang Maha Esa karena mereka meyakini adanya kekuatan gaib di lingkungan sekitar kehidupannya.
Suatu ritus atau upacara religi umumnya terdiri dari kombinasi yang merang-kaikan satu-dua kegiatan. Sebagaimana masyarakat Hindu-Bali ketika mereka melakukan upacara ritual keagamaan, mereka umumnya melakukan upacara ritual keagamaan dengan mempersembahkan sesaji yang disertai persembahan seni pertunjukan. Mereka akan merasa upacara persembahan yang dilakukannya itu kurang lengkap jika tidak dilengkapi unsur bunyi-bunyian dan tari-tarian. Hal itu juga dilakukan masyarakat Desa Bangle. Untuk mensyukuri berkah dan memohon agar pertaniannya tidak diserang hama penyakit, mereka melakukan upacara persembahan kepada para dewata, setiap enam bulan sekali pada upacara piodalan Ngusaba Desa di Pura Desa yang jatuh pada hari Umanis Kuningan. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), pada wawancara tgl 21 Desember 2010 sebagai berikut.
…penduduk desa ini miskin. Sebagian besar dari kami menghidupi keluarga dari hasil bertani, dan melaut sebagai nelayan. Dari dua mata pencaharian penduduk di desa ini, yang paling sering mendapat cobaan adalah kami yang menggantungkan hidup ini dari hasil bertani. Tanaman kami dulu sering terserang hama penyakit, sehingga kami sering kebingungan karena gagal panen. Keluarga kami sering kelaparan dan sakit-sakitan. Pada suatu hari, saya mendapat pewisik agar warga di sini menghaturkan sesaji di Pura Desa ini. Saya heran, setelah melakukan upacara di pura itu perlahan-lahan hasil pertanian warga di sini mengalami peningkatan. Sejak itu kami selalu mempersembahkan sesaji di pura itu agar Beliau melindungi kami.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Bangle yakin akan adanya kekuatan gaib yang dapat memberi mereka perlindungan dari serangan wabah penyakit.
Semula, masyarakat Desa Bangle hanya memiliki Gamelan Terompong Beruk sebagai pelengkap persembahan mereka di pura. Seiring berjalannya waktu, mereka pun berkeinginan untuk menampilkan pependetan (tari-tarian) pada saat upacara piodalan di Pura Desa tersebut. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), ketika wawancara dilakukan pada tgl 21 Desember 2010, sebagai berikut.
... dulu pada saat upacara piodalan di Pura Desa kami hanya mem-persembahkan tetabuhan (lagu) dari menabuh gamelan Terompong Beruk. Gamelan ini sudah ada sejak zaman kakek saya. Kami tidak tahu secara pasti tahunnya. Tetapi ketika zaman Belanda gamelan ini sudah ada, dan kami hanya meneruskan saja. Kami belajar menabuh gamelan ini secara tradisi, turun-temurun. Semua warga desa, khususnya yang laki-laki, harus bisa memainkan gamelan ini karena kami harus ngayah megamel (menabuh) di setiap upacara piodalan di pura ini.
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa gamelan Terompong Beruk telah muncul dan berkembang ketika zaman penjajahan Belanda. Karena dibutuhkan untuk digunakan sebagai persembahan di setiap upacara piodalan di Pura Desa, maka warga masyarakat setempat belajar dan mampu memainkan alat musik tradisional tersebut. Dari penuturan informan tersebut juga dapat diketahui, bahwa walaupun mereka berada dalam kondisi serba terbatas baik dalam pengetahuan maupun sarana yang dimimilikinya, namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk hidup berkesenian.
Penyajian bunyi-bunyian berupa gamelan ini berlangsung cukup lama. Sampai suatu ketika tetua pura yang bernama I Nyoman Karang (75 tahun) mem-punyai gagasan untuk meramaikan upacara Usaba Desa tersebut dengan memper-sembahkan tari-tarian. Desa tersebut tidak mempunyai gamelan lain selain Terom-pong Beruk maka tarian yang ditampilkan oleh para pemedek (warga yang bersembahyang) di pura tersebut menari diiringi Gamelan Terompong Beruk. Sebagaimana diungkapkan oleh informan I Nyoman Kaler pada sebuah wawancara yang dilakukan di rumahnya tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita menuturkan sebagai berikut:
“… ketika upacara piodalan sedang berlangsung, saya lupa tahunnya, ada petunjuk dari Beliau agar kami mempersembahkan tari-tarian untuk persembahan kepada para dewata. Saya bingung pada waktu itu. Ketika itu seketika ada inisiatif, agar para warga (para gadis) yang datang sembahyang di pura ini menari di hadapan pelinggih ini. Maklum anak-anak itu bukan penari, jadi mereka melakukan secara seadanya, sebagaimana yang ditampilkan itu”.
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa tari Legong Sambeh Bintang ini memang diciptakan untuk tari persembahan kepada para dewata, yang dipentaskan masyarakat setempat di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Desa Bangle, Abang, Karangasem.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat penyungsung pura itupun merasa perlu mempersembahkan tari-tarian selain tetabuhan pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa itu dilaksanakan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan mempersem-bahkan sesaji dilengkapi tetabuhan dan tari-tarian para dewata penguasa alam di desa tersebut akan merasa lebih senang, dan berkenan mengabulkan permohonannya yakni diberi perlindungan agar pertanian mereka tidak diserang hama penyakit. Untuk itu, mereka pun berupaya menampilkan tari-tarian seadanya diiringi Gamelan Terompong Beruk pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa yang jatuh tiap enam bulan sekali tepatnya pada hari Umanis Kuningan.
Berawal dari mempersembahkan Gamelan Terompong beruk yang mereka buat dari batok kelapa, masyarakat setempat mulai berkreasi menciptakan sebuah tarian yang walaupun dilakukan dengan ragam gerak bebas dan seadanya, mereka bangga akan kesenian yang mereka miliki itu. Hal itu tampak dari ekspresi dan sikap masyarakat setempat ketika mereka mempersembahkan tarian tersebut di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Pura Desa, desa setempat. Hal itu diperkuat oleh pernyataan salah seorang informan bernama I Nyoman Kaler (75 tahun) pada wawancara tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita yang menuturkan sebagai berikut.
“untuk melengkapi persembahan sesaji yang kami haturkan kami selalu mempersembahkan Tari Legong Sambeh Bintang diiringi Gamelan Terompong Beruk pada upacara piodalan di Pura Desa”.
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat di Desa Bangle, Karangasem sejak dahulu telah hidup berkesenian untuk persembahan kepada para dewata. Hal senada juga dikemukakan oleh salah seorang seniman tua yang ada di Desa Bangle, bernama Ni Luh Rongket (80 tahun), pada wawancara yang dilakukan di rumahnya tanggal 10 Desember 2010, pukul 14.00 wita menuturkan sebagai berikut.
“tari Legong Sambeh Bintang ini sudah ada sejak saya lahir. Menurut Ibu saya, penari pertama tarian ini adalah nenek saya ketika beliau masih gadis. Katanya beliau didapuk menarikan tarian ini di depan pelinggih pura ketika upacara piodalan berlangsung. Kira-kira hal itu terjadi pada zaman penjajahan Belanda”.
Dari pernyataan tersebut dapat di ketahui bahwa awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini kira-kira ketika zaman penjajahan Belanda, yakni pada tahun 1920-an. Sejak awal muncul dan berkembangnya tari Legong Sambeh Bintang yang hingga kini tetap disakralkan masyarakatnya ini ditarikan oleh para gadis (daha) yang belum mengalami akil balik. Sebagaimana diungkapkan oleh informan bernama I Ketut Puger, salah seorang seniman Desa Bangle pada sebuah wawancara yang dilakukan tanggal 5 Desember 2010, yang menuturkan antara lain sebagai berikut.
“Tari Legong Sambeh Bintang ditarikan oleh 50 orang gadis yang belum mengalami akil balik dan belum potong gigi. Kira-kira umur mereka 10-13 tahun. Namun walaupun penari yang diperbolehkan menarikan tarian ini belum mengalami akil balik, tetapi jika mereka masih terlalu kecil (tangan mereka belum dapat menyentuh apit-apit Bale Agung) yang ada di Pura Puseh, desa setempat, merekapun tidak diperkenankan menarikan tarian ini”.
Dari pernyataan informan tersebut, dapat diketahui bahwa sebagai sebuah tari sakral, tari Legong Sambeh Bintang ini sejak awal muncul dan berkem-banganya tarian ini telah memiliki aturan tersendiri yang harus ditaati warga masyarakat setempat. Tari sakral yang selalu disajikan terkait dengan upacara Ngusaba Desa ini disimbolkan sebagai para bidadari turun dari kahyangan memberikan berkah dan petunjuk kepada masyarakat setempat untuk menyikapi kehidupannya. Terkait dengan itu, tidak jarang dari mereka yang menarikan tarian ini mengalami kesurupan dan mengucapkan pesan kepada penyungsung pura.
Untuk kesucian tarian ini maka para penari yang menarikan tari sakral ini diyakinkan harus masih suci (belum mengalami akil balik, belum upacara potong gigi). Namun demikian, merekapun tidak boleh masih kanak-kanak. Para gadis itu disuruh memeluk apit-apit bale (tiang) bangunan bale-bale yang ada di Pura Desa, sebagaimana tampak dalam foto di bawah ini.
Untuk menjaga kelangsungan tradisi budaya ini, warga masyarakat setempat juga menerapkan awig-awig (aturan) lainnya, yakni jika ada salah satu dari 50 KK yang terpilih untuk menyumbang satu penari sesuai dengan awig-awig (aturan) untuk ngayah (nyumbang) sebagai penari tari Legong Sambeh Bintang pada saat upacara piodalan ini, maka KK tersebut didenda/diwajibkan warga penyungsung pura meyadnya (menyumbangkan) 100 kg beras ke pura tersebut.
Tari Legong Sambeh Bintang yang selalu disajikan terkait dengan upacara Ngusaba Desa ini disimbolkan sebagai para bidadari turun dari kahyangan. Menurut I Ketut Puger, salah seorang seniman Desa Bangle pada sebuah wawancara yang dilakukan tanggal 5 Desember 2010, menyatakan bahwa arti dari nama tari Legong Sambeh Bintang adalah sebagai berikut.
…warga masyarakat di sini memberi nama tarian ini sebagai tari “Legong Sambeh Bintang”, yang artinya bahwa: Legong kami artikan sebagai sebuah tari lepas putri, “Sambeh”, kami artikan sebagai gerak tari yang tidak beraturan, dan “Bintang”, dihubungkan dengan kain songket yang berkelap-kelip seperti sinar bintang di langit. Jadi nama tari “Legong Sambeh Bintang”, itu dapat diartikan sebagai sebuah tari lepas putri yang ditarikan bebas, berbusana kain songket berkelap-kelip seperti sinar bintang di langit.
Tari putri yang ditarikan dalam bentuk tari massal ini merupakan kreativitas masyarakat Desa Bangle dalam berkesenian, untuk mereka persembahkan agar diberi perlindungan dewata dalam menjalani kehidupannya. Hal ini adalah upaya dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup mereka dengan alam lingkungannya. Untuk itu mereka melakukan upacara persembahan kepada penguasa alam sebagai rasa syukur atas perlindungan dan berkah yang telah mereka nikmati dengan menghaturkan sesaji disertai sajian seni pertunjukan di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di desa tersebut. Sebagimana penuturan I Nengah Wati, salah seorang seniman karawitan di Desa Bangle, pada sebuah wawancara yang dilakukan tanggal 5 Desember 2010 mengatakan bahwa :
“…warga masyarakat di desa ini selalu mementaskan tari Legong Sambeh Bintang diiringi Gamelan Terompong Beruk pada saat upacara Ngusaba Desa di pura ini. Hingga kini kami tidak berani mengubah tradisi budaya yang telah diwariskan leluhur kami ini.”
Dari pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa tari Legong Sambeh Bintang yang menggambarkan para bidadari dari kahyangan ini, adalah tari sakral. Hal ini dapat dilihat dari sejak awal muncul dan berkembangnya tarian ini selalu disajikan dalam konteks upacara keagamaan, sebagai tari wali yang dipersembahkan kepada para Dewata pada upacara Ngusaba Desa, setiap enam bulan sekali, yang jatuh pada hari Umanis Kuningan.
Actions (login required)
|
View Item |