Kadek , Suartaya
(2011)
JAGAT SENI MENYANGGA KARAKTER MANUSIA BALI.
Artikel Bulan Agustus (2011), 2 (8).
p. 1.
Abstract
Suasana kampus Universitas Udayana di Jalan Sudirman pada Sabtu (30/4) itu terasa agak lain. Selain tampak adanya rutinitas kegiatan akademis, di sebuah aula kampus tersebut menggeliat meriah aksi pentas seni tradisi. Ratusan penari anak-anak dan remaja yang datang dari penjuru Bali hadir unjuk kemampuan. Hari itu, Fakultas Ekonomi Unud menggelar lomba tari se-Bali. Para penari dan penonton mendengarkan penuh perhatian pengumuman hasil lomba yang dibacakan oleh salah seorang juri. Suara gegap gempita merebak ketika nama-nama para juara disebutkan. Para juara menerima piala kemenangan dengan rona suka cita, bangga. Bagaimana dengan mereka yang belum masuk hitungan predikat juara?
Adalah manusiawi bagi para peserta lomba yang belum masuk deretan juara merasa kecewa dan tidak puas. Tetapi berkesenian sejatinya tidak hanya untuk lomba. Berkesenian sesungguhnya selain memiliki mamfaat individual bagi pelakunya juga dapat dijadikan media pergaulan dan jembatan bersosialisasi di tengah masyarakat. Lebih-lebih di tengah masyarakat Bali dimana dunia seni dengan kehidupan sosio-releginya begitu integral. Dalam ritual keagamaan misalnya, tidak ada upacara keagamaan yang dianggap sempurna tanpa kehadiraan penampilan seni tari, seni tabuh, seni vokal, seni teater hingga seni rupa. Lomba hanya sebuah pemicu untuk menginternalisasi rasa sayang dan cinta terhadap seni budaya bangsa di tengah era globalisasi ini.
Tentu, bagi para peserta yang berhasil menjadi sang juara, akan memberi stimulasi dan motivasi yang kuat untuk lebih berprestasi. Bahkan reputasi dalam bidang seni dijadikan muara membangun dirinya menjadi sumber insani bangsa yang berkarakter. Laras (13 tahun), misalnya, yang keluar sebagai juara I Tari Tarunajaya, mengaku sangat bangga dan bersyukur bergelut dalam dunia seni tari. “Dalam upacara keagamaan, saya senantiasa didaulat ngayah menari dan juga sering ditunjuk atau diutus mewakili sekolah dalam kompetisi seni,” ujar pelajar putri yang Ketua OSIS SMP Negeri 1 Sukawati, Gianyar ini mantap, penuh percaya diri.
Rasa percaya diri generasi muda kita akan terbangun jika dibekali dengan jati diri yang juga kokoh. Kesenian adalah sekumpulan nilai-nilai yang dipercaya dapat dijadikan pondasi mengarahkan insan-insan berkarakter humanis. Sebagai bangsa yang kaya dengan puspa ragam ekspresi seni dan budaya, semestinya negeri ini tidak perlu direcoki oleh prilaku-prilaku tak terpuji, hasrat-hasrat busuk, ulah tak senonoh dan seterusnya. Tapi apa boleh buat, krisis moral itu rupanya sedang menjangkiti bangsa ini. Belakangan, dari presiden hingga pejabat paling bawah mewacanakan urgennya pendidikan karakter, jika kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat dan berkeadaban.
Pendidikan karakter itu dapat disemai dari kearifan lokal bangsa kita. Seni tradisi kita yang pada hakikatnya merupakan representasi dari kebudayaan luhur, sejak dulu telah menjadi media pendidikan yang ampuh dalam membentuk karakter masyarakatnya. Di Bali, hampir dalam semua seni pertunjukan tradisi, selain berfungsi sebagai persembahan, juga berkontribusi penting mencerahkan karakter masyarakatnya. Saat menonton teater Topeng atau dramatari Gambuh di pura, penonton memperoleh spirit keagamaan dan siraman rohani. Ketika menonton Arja atau Drama Gong di Bale Banjar, masyarakat penonton menyerap nilai-nilai moral dan sosial yang berguna. Lebih-lebih bila menyimak pementasan Wayang Kulit, penonton akan dihidangkan ensiklopedi kehidupan yang semuanya patut dijadikan pegangan diri.
Tetapi, masyarakat modern masa kini telah kehilangan orientasi hidup, terombang-ambing oleh centang perenang kusutnya zaman. Pergeseran budaya dan nilai-nilai mendistorsi pola pikir dan prilaku masyarakat kita. Guncangan budaya itu juga berimbas pada keberadaan lokal jenius yang terurai dalam ekspresi seni tradisi bangsa. Wayang Kulit yang dulu sangat karismatik di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, kini terpojok lunglai. Di tengah masyarakat Bali tempo dulu, wayang merupakan tontonan favorit yang begitu deras mengisi alam pikiran dan dunia nyata masyarakatnya. Pesan-pesan ceritanya diresapi cermat dan tokoh-tokoh idolanya dijadikan teladan serta identifikasi diri. Namun kini, pendidikan karakter yang diberikan oleh teater wayang dan seni tradisi kita itu telah rapuh dan mandul. Seni tradisi kita tergilas laju era kekinian.
Era baru semestinya tak melumpuhkan karakter bangsa. Beruntung, semangat untuk memperkuat karakter diri, masyarakat, dan bangsa itu masih terasa membuncah di Pulau Dewata. Gairah berasyik masyuk dengan seni tradisi masih menyala-nyala di tengah masyarakat Bali. Kekhusukan ritual keagamaan masih dimeriahkan oleh persembahan seni ngayah. Para seniman Bali masih jengah mengawal dan mengembangkan warisan seni leluhurnya. Pemerintah Bali pun masih bergairah menyokong Pesta Kesenian Bali (PKB) yang direspons riuh masyarakat. Suara gamelan masih mengalun dan lenggok tari masih mengumbar senyum di Pulau Kesenian ini.
Di tengah masyarakat Bali pada umumnya, hasrat berkesenian dan menyimak kesenian tampak tumbuh dan berkembang sejak masa bocah. Ini berarti pendidikan karakter tunas-tunas bangsa itu sudah bersemi sejak dini. Oleh karena itu, berkesenian dalam konteks ritual keagamaan dan berkesenian dalam presentasi estetik festival atau lomba patut terus digelorakan, semuanya memiliki andil membentuk karakter manusia Bali.
Actions (login required)
|
View Item |