I Ketut, Gina
(2011)
STRUKTUR ESTETIKA PERTUNJUKAN WAYANG CALONARANG.
Artikel Bulan Agustus (2011), 2 (8).
p. 1.
Abstract
Nilai estetis yang dimaksud dalam hal ini adalah mengandung norma-norma yang dapat digunakan untuk mengatur pertunjukan Wayang kulit, sehingga dapat dipahami sebagai sesuatu yang berharga. Makna estetis adalah karakter, sikap, pola-pola prilaku wayang yang dapat dijadikan pedoman-pedoman didalam bertingkah laku yang dikemas secara estetik. Seni dikatakan sebagai persembahan untuk kegiatan ritual artinya seni mempunyai makna menghubungkan antara buana alit dengan buana agung. Nilai estetis dalam suatu sajian seni pertunjukan Wayang Kulit Bali dapat ditelusuri melalui penampilan pisik atau penataan panggung pertunjukan wayang, pengungkapan bahasa, sikap, struktur ceritera dan keseluruhan isi yang terkandung di dalamnya. Keindahan yang bersifat indrawi adalah keindahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan indera manusia baik indera pengelihatan maupun indera pendengaran, sedangkan keindahan yang bersifat rohani adalah keindahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan bathin manusia.
Nilai keindahan atau nilai estetis yang dapat dinikmati indera pengelihatan pada pertunjukan Wayang Calonarang, terletak pada penampilan pisik yang terdiri dari; wayang, gerak wayang, kelir, blencong. Elemen-elemen tersebut disajikan dalam bentuk satu-kesatuan yang dinikmati dari segi keindahan melalui tampilannya, seperti: simping atau penataan wayang pada kelir yang disusun sangat rapi di pinggir kanan dan kiri oleh katengkong; gerak wayang akan kelihatan dari karakter tokoh wayang antara keras dan lembutnya tokoh wayang yang dimainkan oleh dalang, yang akan membangkitkan kesan indah (pangus); kelir akan kelihatan indah apabila sepenuhnya dapat disinari oleh lampu (blencong), blencong kelihatan indah apabila sesuai dengan fungsinya pada setiap adegan, antara terang dengan redupnya cahaya yang diperlukan untuk mendukung suasana, karena pencahayaan sangat mendukung jalannya pertunjukan wayang kulit. Keindahan yang dapat dinikmati dengan indera pendengaran adalah: suara gamelan yang ditata sedemikian rupa, agar dapat merubah suasana pada pertunjukan wayang, seperti gamelan pada penyacah, pada angkat-angkatan, tetangisan, begitu pula pada klimak (siat). Penataan instrumen gamelan akan dapat memberikan kesan indah kepada penonton.
Djelantik, dalam bukunya yang berjudul Falsafah Keindahan dan Kesenian menjelaskan, bahwa unsure-unsur estetika meliputi wujud, bobot, dan penampilan. Wujud melipiti yang kasat mata (bias dilihat dengan mata) dan yang tidak kasat mata (bisa didengar oleh telinga dan bisa diteliti dengan analisa). Bobot mempunyai tiga (3) aspek yaitu suasana (mood); gagasan (ideal); ibarat atau pesan (message). Dalam penampilan kesenian ada tiga unsur yang berperan yaitu bakat (talent), ketrampilan (skill); sarana (media).
Penampilan merupakan keindahan yang bersifat indrawi dimana keindahan mampu memberikan kesenangan pada mata dalam melihat dan telinga dalam mendengar. Pada keindahan yang bersifat indrawi yang dilihat adalah penampilan pisik, hal ini dapat dilihat pada salah satu penampilan yang ada, misalnya pada tabuh iringannya terbuat bahan pilihan, berukir dan dicat prada sehingga sangat indah dipandang mata. Dari segi rasa estetik tabuh iringan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung dimainkan oleh penabuh yang mempunyai ketrampilan/skill dibidangny masing-masing, sehingga tabuh yang dihasilkan bagus. Dari pakaian (costume) penabuh yang dilihat dari bentuk dan warnanya sangat harmonis. Dari penjelasan di atas dapat dipastikan pada pertunjukan Wayang Calonarang Kautus Rarung terdapat nilai estetis yang mampu memberikan kepuasan secara indrawi.
Pengertian wujud mengacu pada kenyataan yang tampak secara kongkrit (dapat dipersepsi dengan mata dan teling) maupun kenyataan yang tidak nampak secara kongkrit, yang abstrak, yang hanya bisa dibayangkan, seperti sesuatu yang bisa dibayangkan dalam buku. Berdasarkan uraian di atas pertujukan Wayang Calinarang lakon Kautus Rarung diwujudkan ke dalam pertunjukan wayang tradisi, dimana dalam pertunjukan tersebut ditemukan wujud-wujud yang kongkrit/nyata. Yang dimaksud dengan bentuk (form) adalah totalitas dari karya seni. Ada dua macam bentuk : pertama visual form, yaitu bentuk pisik dari sebuah karya seni atau satu-kesatuan dari unsur-unsur pendukung karya seni tersebut; kedua special form, yaitu bentuk yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik yang dipancarkan oleh fenomena bentuk pisiknya terhadap tanggapan emosionalnya.
Bentuk visual dari pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung persembahan Ida Bagus Sudiksa merupakan garapan pakeliran tradisi, dengan alasan karena melihat aparatus pertunjukan yang digunakan masih berkonsep tradisi, mulai dari kelir yang digunakan, tata cahaya (lighting), tabuh iringan tergolong musik tradisi meski pada tabuh iringannya ada sentuhan inovasi, ukuran wayang, struktur garapan, tata panggung, retorika dan sebagainya.
Penataan panggung pada wayang tradisi dan inovatif tidak jauh berbeda, ini disesuaikan dengan tempat digelarnya pertunjukan. Dalam wujud secara kongkrit akan banyak ditemukan keindahan yng memiliki nilai estetis yang bersifat indrawi. Sedangkan wujud yang tidak nampak atau abstrak dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung terdapat pada antawecana (retorika), ide, makna, tema dan dialog pada pertunjukan tersebut. Untuk mengetahui pesan yang abstrak tersebut hanya bisa dibayangkan melalui pemikiran, menonton, mendengarkan dan merasakan dari pertunjukan tersebut yang disusun secara satu-kesatuan. Pada wujud abstrak pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung terdapat banyak nilai estetis yang bersifat rohani. Dapat kita lihat pada lakon pertunjukan yang begitu menyentuh perasaan, ketika Diah Ratna Menggali diutus oleh ibunya (Walu Nata) untuk menemui ayahnya (Prabu Erlangga) di Kerajaan Kediri, akan tetapi tidak diijinkan oleh Patih Madri bertemu dengan raja, dan teganya Patih Madri menyiksa Diah Ratna Menggali hingga babak belur diajar habis-habisan. Diah Ratna Menggalipun kembali pada ibunya, karena merasa sakit hati kemudian bersama-sama pergi ke Pemuwunan Setra untuk memohon waranugraha Hyang Nini Bagawati. Setelah mendapat anugrah, kemudian Walu Nata dan Diah Ratna Menggali menebar wabah yang melanda Kerajaan Kediri. Akhirnya sadar Prabu Erlangga bahwa itu perbuatan mantan istrinya (Diah Padma Yoni). Saat itu Prabu Erlangga mengutus Mpu Beradah untuk menghentikan perbuatan Walu Nata, Walu Nata pun tak bisa berkutik disaat dihadapi oleh Mpu Beradah, yang menyadarkan dirinya insyap dan bertobat akan berbuat kebajikan, itulah Calon Arang, Calon artinya gelap dan Arang artinya terang, setelah Diah Padma Yoni sadar dengan kekurangannya, kemudian diberikan pengeruwatan oleh Mpu Beradah dan siraman rohani, yang menyebabkan Diah Padma Yoni menemukan jalan terang menuju nirwana. Ajaran Pengiwa dan Penengen adalah tujuannya satu yaitu kedyatmikan, seperti halnya piramid yang pada akhirnya akan bertemu di satu titik yakni Aji Kalepasan. Nilai estetis yang bersifat rohani terletak pada garapan lakon yang meliputi: narasi dalang, gerak wayang (tetikesan), bahasa bertembang, karakterisasi, dialog wayang dan vokal dalang.
Bobot yang dimaksud dalam karya seni adalah isi atau makna dari apa yang disajikan pada sang pengamat. Untuk mengetahui bobot pertunjukan tersebut penulis mengamati melalui tiga hal yaitu : suasana, gagasan atau ide, dan ibarat atau anjuran. Mengamati pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung, salah satunya adalah tabuh pengiring, suasana yang bangun dalam tabuh, baik pategak maupun pamungkah adalah tidak kasat mata. Suara gambelan tidak dapat dilihat dengan mata akan tetapi bisa didengarkan (dirasakan indahnya) bisa diteliti dengan analisa, dibahas kompenen-kompenen penyusunannya dan dari segi struktur atau susunan. Pesan yang disampaikan adalah penonton diajak agar datang menonton pertunjukan wayang yang akan segera digelar. Jadi sangat jelas dalam petunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung bagaimana suasana yang dibangun, gagasan maupun pesan yang disampaikan kepada penonton.
Lakon Kautus Rarung, dialog-dialog wayangnya sarat akan nilai-nilai kehidupan yang menjadi acuan dalam bertingkah laku pada masyarakat, sesuai dengan fungsi wayang sebagai tontonan dan tuntunan. Nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung persembahan Ida Bagus Sudiksa adalah nilai pendidikan, nilai religi, nilai etika, nilai kepahlawanan, nilai spiritual, nilai kesetiaan dan nilai moral.
Nilai Pendidikan yaitu sebuah nilai yang banyak sekali manfaatnya dalam upaya memberikan pelajaran dan pendidikan, bagaimana hendaknya menjadi manusia, bagaimana hendaknya manusia bersikap di tengah-tengan manusia lainnya, bagaimana manusia bergaul dengan lingkungannya, bagaimana sikap manusia memupuk untuk kesadaran yang tinggi, bahwa manusia sesungguhnya sangat kecil di tengah kebesaran Tuhan. Nilai pendidikan ini salah satunya dapat kita lihat pada kutipan dialog antara Twalen dengan Mredah saat membicarakan bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin yang baik, begitu pula bagaimana seharusnya menjadi abdi yang baik. Pada dialog yang lain juga disebutkan bagaimana seharusnya bersikap dan bertingkah laku hidup bermasyarakat agar tidak menyakiti orang lain serta selalu menghargai sesama.
Nilai religi adalah nilai yang bersifat spirit kejiwaan, moral yang merupakan nilai yang mengacu pada ajaran-ajaran agama. Pada lakon Kautus Rarung dapat kita lihat pada adegan petangkilan, saat Prabu Erlangga menanyakan kepada Patih Madri yang sesuai denga Tri Hita Karana yakni : hubungan manusia dengan Tuhan apa ada yang kurang, hubungan manusia dengan manusia semenjak permaisuri raja diusir bagaimana, hubungan manusia dengan lingkungan apakah ada yang kurang, agar jagat raya ini bisa tentram.
Nilai etika yaitu nilai yang bersifat sebagai tuntunan bertingkah laku yang baik dan benar dalam kehidupan. Nilai ini dalam Wayang Calonarang dapat kita lihat pada setiap babak adegan. Salah satunya yaitu pada petangkilan, bagaimana seharusnya etika seorang raja yang yang menjadi panutan rakyat (Prabu Erlangga), bagaimana etika seorang patih yang menjadi tabeng wijang membuktikan kesetiaannya kepada rajanya (Patih Madri), bagaimana pula etika seorang punakawan (abdi) saat sedang bersama junjungannya (tuannya). Etika punakawan dapat kita lihat pada tokoh Twalen dan Mredah.
Nilai spiritual, adalah nilai metafisika (kadigjayaan) antara kekuatan magis atas serangan Walu Nateng Dirah yang ditebar di Kerajaan Kediri menyebabkan banyak rakyat menjadi korban. Karena kekuatan spiritual Mpu Beradah sangat tinggi (nasak) maka ciri-ciri seperti itu bisa dipantau dari jarak yang sangat jauh yakni Desa Lembah Tulis. Berangkatlah Mpu Beradah ke Kerajaan Kediri untuk menyaksikan secara langsung apa sesungguhnya terjadi. Setelah tiba di Kerajaan Kediri memang benar apa yang ada dalam pirasatnya sungguh terjadi. Di dalam perjalanan Mpu Beradah melantumkan sruti (weda) hingga didengar oleh Twalen, Twalen pun menanyakan kenapa seorang pandita menyanyi di jalan. Jawaban Mpu Beradah adalah hal itu memang kewajiban seorang pinandita harus membacakan doa, agar dapat terhindar dari aura magis yang bertebaran di sekeliling tempat dimana Mpu Beradah melintas. Pada akhirnya nyanyian melalui spiritual Mpu Berdah dapat mengalahkan kekuatan magis Walu Nateng Dirah, yang kemudian sadar dengan kekeliruannya dan minta petunjuk Mpu Beradah agar mau menunjukkan jalan untuk menuju Kalepasan. Pada akhirnya sempurnalah ilmu yang dimiliki oleh Walu Nata.
Nilai kepahlawanan adalah sebuah nilai yang sarat dengan ketokohan atas dasar kejujuran dan kebenaran. Nilai ini dapat kita lihat pada saat Patih Madri mengadu kadigjayaan dengan Diah Ratna Menggali (Rarung) yang menggunakan ajian pudak sategal, sehingga Patih Madri tewas ditangan rarung. Hal seperti itu dilakukan oleh Patih Madri atas ketulusan hati mempertahankan martabatnya sebagai seorang patih yang diberikan kepercayaan oleh rajanya (junjungannya). Tokoh Patih Madri merupakan sosok pahlawan yang murni, maksudnya meskipun mengorbankan nyawa yang tak terhitung nilainya, itu bukan menjadi penghalang demi pengabdiannya kepada raja.
Nilai kesetiaan, di dalamnya terkandung bagaimana seseorang bisa setia walaupun sampai merenggut nyawanya sendiri. Hal ini terbukti karena kesetiaan Patih Madri kepada Prabu Erlangga, itulah sebabnya agar terwujud kesetiaan kepada raja, dan demi kesejahtraan rakyat Kediri yang dilanda bencana kehancuran, karena dendam Diah Ratna Menggali yang pada akhirnya Patih Madri harus mengorbankan jiwanya.
Nilai moral, dalam hal ini terjadi pergolakan antara lahir dan bathin. Bagaimana pergolakan bathin Prabu Erlangga sebagai seorang raja yang sangat arif dan bijaksana memegang pemerintahan di Kediri, selalu menjaga kedamaian rakyatnya akan tetapi harus membuang permaisurinya (Diah Padma Yoni) kehutan Dirah, agar tidak dicemohkan oleh rakyat bahwa permaisurinya menganut ilmu hitam. Prabu Erlangga sesungguhnya tidak menginginkan hal tersebut, akan tetapi dia tidak bisa menolak atas kemauan rakyatnya sendiri. Pada dialog yang lain antara Sangut dengan Delem, bagaimana seorang Sangut yang sangat tidak setuju dengan pendapat Delem bahwa junjunganny (Walu Nata) akan membalas dendam, mau menghancurkan Kerajaan Kediri, yang akhirnya Sangut tidak bisa berbuat apa-apa karena ia mengabdi kepada Walu Nateng Dirah.
Sebuah karya seni dikatakan mengandung makna estetis apa bila karya seni tersebut dapat menjadi pedoman-pedoman di dalam bertingkah laku, dan berguna bagi kepentingan orang banyak. Seperti halnya dalam Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung, disamping nilai-nilai estetik di dalamnya juga sarat akan makna estetis. Dapat kita lihat dari bentuk dan pewarnaan tokoh-tokoh wayang. Dari bentuk sudah memberi makna bahwa tokoh tersebut adalah tokoh yang kuat, begitu pula dengan warna. Warna juga akan memberi makna bagaimana karakter tokoh-tokoh wayang. Berdasarkan keterangan dari salah satu informan dalang, bahwa pewarnaan atau ukiran pada wajah tokoh wayang disamping mengandung nilai keindahan, juga terdapat arti simboliknya. Pada dasarnya pewarnaan pada wajah tokoh wayang terdiri dari warna ; merah, hitam, putih, kuning keemasan, biru dan juga hijau. Masing-masing warna mempunyai makna tersendiri. Warna menunjukkan karakter tokoh wayang, warna merah mempunyai makna karakter keras, mudah marah, berani dan kurang sabar, juga menggambarkan keangkaramurkaan, contohnya tokoh Duryodana, punakawan Delem. Warna hitam mempunyai makna kebijaksanaan kekuatan (kesantosaan) dan bertanggung jawab, contohnya adalah Twalen. Warna putih melambangkan tokoh wayang yang bersih dan suci, seperti tokoh Yudistira, Arjuna, Nakula Sahadewa dan sebagainya. Warna kuning keemasan mempunyai makna tokoh wayang yang berkarakter tenang, contohnya adalah Ramadewa. Warna biru dan hijau memiliki makna bahwa tokoh tersebut berkarakter picik dan tidak bertanggung jawab, contohnya Raden Samba.
Actions (login required)
|
View Item |