Ni Made, Wiryani
(2011)
Asal Mula Tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung.
Artikel Bulan September (2011), 2 (9).
p. 1.
Preview |
|
PDF (Asal Mula Tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung)
- Published Version
Download (79kB)
| Preview
|
Abstract
Awal mula atau sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung ini masih diliputi ketidakjelasan. Sementara ini yang berkembang di masyarakat adalah versi dari Ida Pedande Gede Sidemen Pemaron dan versi yang bersumber dari Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi. Informasi ini dimuat jelas di Koran Nusa Bali terbitan hari Minggu, tanggal 25 Oktober 2010.
Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Ida Pedanda Gede Sidemen Pemaron
Sejarah tari Mekotekan ini berawal dari keberadaan, Raja IV Cokorda Nyoman Munggu pada Keraton Puri Agung Munggu. Beliau adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana serta dicintai dan disegani oleh rakyat Mengwiraja dan sekitarnya, khususnya masyarakat di Munggu. Beliau memiliki kebun yang sangat luas yang sekarang disebut “Uma Kebon” serta memiliki peternakan yang disebut “Uma Bada”.
Beliau ingin meneruskan cita-cita pendahulunya, yaitu Raja I Gusti Agung Putu Agung yang mebiseka Cokorda Sakti Blambangan. Beliau membentuk pasukan berani mati di Desa Munggu, yang dibina oleh Bhagawantha raja dari Ida Brahmana di Munggu, dengan sebutan pasukan “Guak Selem Munggu”.
Pada suatu hari, sungai Yeh Penet yang melingkari ujung utara sampai tepi bagian barat Desa Munggu, airnya terus mengalir menuju ke laut selatan, dan meluap sehingga menimbulkan banjir bandang. Air sungai yang sangat deras itu menghanyutkan sebuah pelinggih yang terapung-apung di permukaan air kemudian tersangkut pada akar pohon kamboja besar (pohon jepun sudamala). Atas kejadian itu masyarakat Munggu berduyun-duyun untuk melihatnya. Masyarakat Munggu yang tinggal di dauh rurung kemudian melaporkan hal tersebut ke hadapan Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu yang berlanjut kehadapan Raja Cokorda Nyoman Munggu, yang pada saat itu raja kebetulan berada di keraton puri Agung Munggu Pura di Mengwiraja. Beliau menitahkan masyarakat Munggu untuk mengangkat dan melestarikan pelinggih itu di tempat yang aman.
Pada saat itu pula ada salah seorang penduduk di Munggu kesurupan (kerauhan) dan mengaku sebagai utusan dari Ida Betari Ulun Danu Bratan, atas permohonan Ida Betara di Pura Puncak Mangu, yang memohon kepada Raja Bhagawantha untuk menyelamatkan pelinggih itu serta membangun sebuah pura yang merupakan stana Ida Betara Luhur Sapuh Jagat, untuk menjaga keselamatan rakyat Mengwiraja sebagai kahyangan jagat. Atas petunjuk orang yang kesurupan itu, diyakini bahwa pada waktu akan mulai meletakkan batu pertama (nasarin) Pura Luhur Sapuh Jagat akan menemukan segumpalan besi dan batu-batu yang berbentuk senjata. Gumpalan besi itu agar diamankan dijadikan senjata-senjata kerajaan Mengwipura, sedangkan batu-batu itu agar dilestarikan di tempat pembangunan pura tersebut.
Raja Cokorda Nyoman Munggu beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu tidak begitu cepat percaya dengan ucapan-ucapan orang kesurupan itu, beliau ingin membuktikan lagi. Untuk meyakinkan, akhirnya orang yang kesurupan yang mengaku utusan Ida Betara Ulun Danu menjadi sangat jengkel dan berlari menuju pura Puseh Munggu, serta mengambil sebuah tedung yang panjangnya kurang lebih 5 meter dan menancapkan pada halaman pura Puseh, serta meloncat-loncat ke atas tedung. Di atas tedung itulah orang yang kesurupan itu menari-nari sambil menantang Rajabhagawantha dengan kata-kata yang sangat meyakinkan, bahwa ia benar-benar utusan Ida Betara Ulun Danu Bratan.
Dalam suasana hujan lebat serta angin puyuh, Raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bersama-sama seluruh masyarakat Munggu menyaksikan hal itu. Setelah itu barulah beliau sadar serta berjanji memenuhi semua apa yang menjadi petunjuk yang diucapkan oleh orang kesurupan itu, yang merupakan pawisik Ida Batara (Sang Hyang Widi Wasa) sehingga orang itu langsung disucikan dijadikan pemangku Pura Puseh. Diputuskanlah oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bahwa hari Rabu Kliwon Ugu mulai diadakan pembangunan atau nasarin Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
Benar-benar suatu keajaiban pada jagat Bali. Setelah penggalian pembangunan pura seperti petunjuk yang diucapkan pemangku itu, terdapatlah gumpalan batu-batu. Ada yang berbentuk tamiang, besi-besi tua yang berbentuk senjata tajam. Setelah disaksikan oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu dan seluruh masyarakat Munggu, akhirnya benda-benda tersebut diangkat dan ditempatkan pada bangunan suci untuk diamankan dan dilestarikan.
Sesuai dengan pawisik yang telah didapatkan sebelumnya, maka dipanggillah seorang wiku pande besi Desa Munggu oleh Cokorda Munggu untuk menjadikan besi tua itu senjata keris dan tombak, sehingga menghasilkan 5 buah senjata tajam yang terdiri dari keris dan tombak yang diserahkan kembali ke hadapan Cokorda Munggu. Kemudian diadakan upacara pasupati senjata oleh Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu dan seluruh rakyat Munggu diperintahkan untuk membuat tempat pemujaan berupa panggung setinggi 6 m di perempatan Banjar Munggu untuk kegiatan upacara pasupati senjata-senjata tersebut.
Keris dan tombak tersebut disucikan terlebih dahulu dengan mempergunakan air bungkak kelapa gading, setelah itu dipercikan air suci dan sarana banten, lalu keris dan tombak langsung dihias dengan bunga pucuk merah yaitu pucuk rejuna dan busana kain serba merah. Keris-keris dan tombak pada saat dipasupati Ida Pedanda ditempatkan pada sebuah singgasana khusus dan selanjutnya keris-keris dikemit selama 3 bulan di panggung upacara tersebut secara silih berganti oleh warga desa Munggu yang mekemit untuk mohon keselamatan, keamanan, serta kenyamanan. Selama tiga bulan mekemit Ida Pedanda mendapat wahyu agar keris-keris dan tombak itu masing-masing diberi nama :
Sebuah keris runcing luk 11 (sebelas) diberi nama I Raksasa Bedek
Sebuah keris runcing luk 7 (tujuh) diberi nama I Sekar Sungsang
Sebuah keris runcing luk 5 (lima) bernama I Jimat
Sebuah keris runcing bernama I Sapuh Jagat
Sebuah tombak bernama I Bangun Oleg (Olog)
Setelah senjata-senjata yang didapatkan melalui pawisik gaib dipasupati dan dikemit selama tiga bulan, maka pada hari Sabtu Kliwon Kuningan pada Tumpek Kuningan, mulai diperagakan mengadakan perang-perangan yang diikuti oleh para laki-laki dewasa yang berasal dari seluruh Desa Munggu, kecuali bagi yang sedang cuntaka. Tari-tarian inilah yang kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan tari Mekotekan.
Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Bendesa Adat Munggu, I Ketut Kormi
Versi lain dari sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung dikemukakan oleh Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi sesuai dengan yang termuat dalam surat kabar harian Nusa Bali terbitan hari Minggu, 25 Oktober 2010. Dalam surat kabar tersebut I Ketut Kormi mengatakan tradisi Mekotek yang telah digelar warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah Raja Munggu, yang pergi ke Blambangan untuk melakukan perluasan wilayah. Pada peperangan itu Raja Munggu menang dan kembali ke Munggu bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian menggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa terkena gerubug atau wabah petir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.
Munculnya kata Mekotekan ini berasal dari kata ”kotek” yang berarti suara atau bunyi yang ditimbulkan dari persentuhan antara batang-batang kayu yang dilakukan pada saat prosesi upacara Ngerebeg berlangsung. Sedangkan kata Ngerebeg berasal dari kata ”rebeg” yang berarti perang. Sehingga tari Mekotekan dalam rangkaian upacara Ngerebeg ini ciri khasnya adalah penggunaan properti batang kayu seperti tombak yang dibawa oleh prajurit jaman dahulu menuju medan perang, kayu ini kemudian disatukan ujung atasnya sehingga menimbulkan suara gesekan batang kayu tersebut.
Dalam pementasan tari Mekotekan ini, masalah faktor keindahan adalah sekunder, karena tari Mekotekan ini penekanannya lebih kepada upacara keagamaan, yang dipersembahkan kepada Tuhan. Pementasan tari Mekotekan dipercaya dapat memberikan pengaruh positif bagi kehidupan manusia itu sendiri. Kehendak jiwa manusia itu sendiri dimanifestasikan menjadi bentuk-bentuk gerak tari yang bersifat magis, dengan peniruan-peniruan gerak-gerak alam, sehingga mencapai situasi di bawah alam sadar dan para penarinya mengalami trance (tidak sadar). Pemuka masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat Desa Munggu mengatakan bahwa tari Mekotekan merupakan tarian anugrah dari Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Kemunculan tari Mekotekan diawali melalui seorang pemangku yang kerawuhan (trance), melakukan gerakan yang diambil dari ilustrasi sebuah keris, ditancapkan pada tugu Pura Luhur Sapuh Jagat Munggu, yang berarti kemenangan.
Actions (login required)
|
View Item |