I Made, Suastika and I Nyoman, Kutha Ratna and I Gede , Mudana and Tjok , Udiana N.P., S.Sn.,SH., M.Hum
(2009)
ESTETIKA POSMODERN PATUNG GARUDA.
ISI Denpasar.
ISBN 978-979-3790-71-8
Abstract
Estetika adalah filsafat tentang keindahan. Keindahan sangat berkaitan dengan seni (art). Muji Sutrisno (1999:18); (periksa juga Suastika,2006:vii) menyatakan bahwa dalam estetika dikenal dua pendekatan, yaitu (1) ingin langsung mrngrtahui keindahan itu dalam benda-benda atau alam yang indah serta seni itu sendiri; (2) menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami atau pengalaman keindahan dalam diri orangnya. Selanjutnya, ada pandangan bahwa para pemikir modern cenderung memberi perhatian pada pengalaman keindahan dari zaman ke zaman.
Becker (1982:131) dalam buku Art World menyatakan bahwa estetika adalah suatu studi mengenai premis dan alasan atau argumen yang digunakan untuk membenarkan atau memberikan penilaian terhadap aktivitas-aktivitas berkaiatan dengan masalah keindahan, artistik, seni yang baik atau seni yang buruk, dan sebagainya. Philipus Tule (1995:5) menjelaskan aesthetics/esthetics (dalam bahasa Yunani, aisthetikos), yakni seorang yang mempersepsikan sesuatu melalui sarana indera, perasaan, dan intuisinya. Aisthesis berarti sensasi elementer primer. Pertama, kajian tentang keindahan dan konsep-konsep yang berkaitan, seperti: sublim, tragis, jelek, humoris, dan menjemukan. Kedua, tentang analisis nilai, cita rasa, sikap, dan standar yang terlibat dalam pengalaman serta penilaian tentang segala sesuatu yang dibuat oleh manusia atau ditemukan dalam alam yang indah.
Secara ringkas hal-hal yang indah dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (1) keindahan alami yang tidak dibuat oleh manusia; (2) keindahan yang dibuat oleh manusia, yakni secara umum disebut sebagai barang kesenian. Pada umumnya apa yang disebut indah di dalam jiwa, yakni sesuatu yang dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, nyaman, dan bahagia. Bila perasaan itu sangat kuat, maka kita merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali, yakni dalam bahasa Bali disebut kelangen (Djelantik, 1999:34).
Estetika posmodern dalam bahasan tulisan ini dicoba secara kritis digunakan peta idiom-idiom estetika posmodernisme, yang diharapkan dapat menjadi sebuah model dalam setiap upaya pemahaman dan pengembangan estetika posmodern sebagai sebuah diskursus kebudayaan. Dengan demikian, dapat bermanfaat pula bagi upaya-upaya pemahaman keserba-ragaman dan pluralisme bahasa estetik, terutama sejauh dipandang sebagai sebuah penandaan dan makna (Piliang, 2003:61).
Model idiom estetika posmodern yang penulis pinjam disusun Piliang (2003) menjadi sebuah rujukan penting dalam pengkajian diskursus seni kontemporer (estetika posmodern), yang sesungguhnya telah menghasilkan satu trasformasi estetik yang penting sejak tiga dasawarsa terakhir ini. Sejak dekade 60-70-an telah terjadi perubahan penting dalam cara memandang dan mendefinisikan seni serta perubahan fungsi seni itu sendiri dalam masyarakat kontemporer, terutama dalam satatusnya sebagai komoditas. Perubahan ini sekaligus akan mempengaruhi proses berkesenian serta idiom-idiom estetika yang dihasilkan (Piliang, 2003:62).
Adapun idiom estetika posmodern yang diperkenalkan mencakup (1) pastiche, (2) parodi, (3) kitsch, (4) camp, dan (5) skzofrenia. Idiom-idom estetika di atas bukan merupakan hak prerogatif posmodernisme, meskipun pada diskursus posmodernisme semua idiom-idiom tersebut menjadi konsep yang dominan. Dalam konteks seni posmodern, idiom-idiom estetika yang disebutkan tadi secara luas telah digunakan sebagai model pemuatan makna-makna (atau antimakna) pada bahasa estetika seni. Pengenalan dan pendefinisian idiom-idiom ini secara sistematis sangat penting sehingga dapat menjadi bahan dalam pengembangan idiom-idiom estetika yang lebih kaya (Piliang, 2003:67). Lebih lanjut, Piliang (2003:187) menjelaskan sebagai berikut. (1) Pastiche merupakan karya satra atau seni yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai penulis (pencipta) lain pada masa lalu. Sebagai karya yang mengandung unsur pinjaman, pastiche mempunyai konotasi negative, yakni miskin kreativitas, orisinalitas, keontentikan, dan kebebasan. Eksistensi karya pastiche, dalam hal ini, sangat bergantung pada eksistensi kebudayaan masa lalu dan karya-karya serta idiom-idiom estetik yang ada sebelumnya. (2) Parodi adalah sebuah komposisi sastra atau seni yang di dalamnya terdapat gagasan, gaya, atau ungkapan khas seorang seniman dipermainkan sedemikian rupa sehingga membuatnya tampak absurd (Piliang, 2003: 20). (3) Kitsch merupakan segala bentuk seni yang berkaitan dengan selera rendah, yaitu rendahnya bakuan estetika yang dimilikinya (Piliang, 2003:18), (4) camp adalah komposisi di dalam sebuah karya sastra, seni, atau desain, yang dicirikan oleh sifat estetisasi, pengindahan, atau penggayaan yang sangat berlebihan, distortif, artifisial, dan teatrikal (Piliang, 2003:15). (5) Skzofrenia merupakan kekacauan struktur bahasa (dan psikis), yakni putusnya rantai pertandaan, yakni penanda (bentuk) tidak dikaitkan dengan satu petanda (makna) dengan cara yang pasti, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran makna (Piliang, 2003:21).
Actions (login required)
|
View Item |