I Gede, Mugi Raharja and A.A Gede, Rai Remawa and I Made Pande, Artadi
(2013)
MAKALAH SEMINAR REKONTEKSTUALISASI KEUNGGULAN LOKAL TAMAN PENINGGALAN KERAJAAN-KERAJAAN DI BALI PADA ERA GLOBALISASI (Tahun ke-I/ 2011).
[Experiment]
Preview |
|
Image (PNG) (MAKALAH SEMINAR REKONTEKSTUALISASI KEUNGGULAN LOKAL TAMAN PENINGGALAN KERAJAAN-KERAJAAN DI BALI PADA ERA GLOBALISASI (Tahun ke-I/ 2011))
- Cover Image
Download (100kB)
| Preview
|
Abstract
emampuan lokal atau keunggulan lokal yang sering disebut sebagai local genius menurut pendapat ahli arkeologi Soerjanto Poespowardojo adalah unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar, serta mengintegrasikannya ke dalam kebudayaan asli (Ayatrohaedi, 1986: 31).
Globalisasi adalah era kebudayaan dunia sebagai akibat dari perkembangan kebudayaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lahir di negara barat, mengacu kepada Teori Waktu Poros (Achsenzeit) yang dikemukakan oleh Karl Jaspers, seorang tokoh filsafat sejarah di Jerman (Widagdo, 2001: 1-15). Peradaban kini telah masuk ke dalam abad informatika yang menggantikan abad industri. Menurut Toffler (dalam Sachari, 1995: 80-84), paralel dengan perubahan abad tersebut, umat manusia telah berubah dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Pada era Globalisasi sekarang, produk-produk industri cenderung mengarah kepada pembuatan produk spesifik untuk menjatuhkan pesaing di pasar terbuka.
Pada era globalisasi ekonomi, informasi dan kultural dewasa ini, terjadi kondisi tarik menarik antara kebudayaan lokal dengan tantangan dan pengaruh globalisasi. Oleh karena, di satu pihak, globalisasi dianggap sebagai sebuah “peluang” bagi pengembangan potensi diri; di lain pihak, globalisasi dilihat sebagai ancaman terhadap eksistensi budaya lokal, termasuk desain- desain lokal dan keberlanjutan budaya lokal itu sendiri. Menurut Yasraf Amir Piliang (2005), dalam upaya pengembangan budaya lokal untuk menghasilkan keunggulan lokal, diperlukan “reinterpretasi” agar memperoleh makna baru tanpa merusak nilai-nilai esensialnya. Tak tertutup kemungkinan adanya konsep “pelintasan estetik”, untuk memperkaya makna dengan mempertemukan dua budaya. Melalui proses pertemuan antar budaya yang selektif dan tidak mengorbankan nilai serta identitas budaya lokal, maka akan bisa diperoleh suatu makna baru dan khas. Melalui “keterbukaan kritis”, sikap menerima budaya luar yang positif dan menyaring yang negatif, budaya lokal tidak akan rusak. Oleh karena itu, mengacu kepada pendapat Yasraf, diperlukan berbagai pemikiran untuk menggali keunggulan lokal, baik pada tingkat filosofis, ekonomis, sosiologis dan kultural, sehingga diharapkan dapat membuka peluang bagi pengkayaan desain dan budaya lokal itu sendiri, melalui pengembangkan kreativitas lokal dan inovasi kultural, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai dasarnya.
Salah satu keunggulan lokal Bali yang bisa diaktualisasikan dalam konteks global adalah desain taman tradisionalnya. Bali cukup banyak memiliki desain pertamanan yang merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan, baik yang berasal dari Zaman Balu Kuna maupun yang berasal dari Zaman Bali Madya (setelah pengaruh Majapahit). Taman tradisional Bali menurut Rumawan (1996: 34), sangat erat kaitannya dengan arsitektur tradisional Bali. Perencanaan dan perancangan arsitekturnya sekaligus melahirkan taman (ruang luar), yang terbentuk akibat
1
peletakan massa-massa bangunannya dan fungsinya untuk tempat bersenang-senang (rekreasi/lilacita).
Pertamanan yang juga disebut dengan istilah “arsitektur pertamanan”, merupakan pendekatan dari pengertian Landscape Architecture yang sebagai suatu profesi pertama kali diperkenalkan oleh Frederick Law Olmsted tahun 1858, saat merancang Taman Kota New York (Onggodiputro, 1985: vi). Saat itu Law Olmsted dan Calvert Vaux memenangkan sayembara perancangan taman kota New York dengan konsep Greenward. Untuk di Indonesia istilah landscape architecture ini disebut dengan “arsitektur lansekap” atau “arsitektur bentang alam”. Fungsi pertamanan yang dalam konteks lebih luas juga disebut “ruang luar”, sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan tempat hiburan, tempat untuk melepaskan lelah dari ketegangan-ketegangan pikiran setelah bekerja secara terus-menerus (Ashihara, 1974: 3).
Mengacu pada pendapat Yasraf, maka upaya untuk mengangkat keunggulan lokal pertamanan tradisional Bali, antara lain bisa dilakukan dengan upaya menggali atau meneliti sumber-sumber pengetahuan lokal untuk menghasilkan berbagai konsep taman yang unik dan orisinal. Perubahan gaya hidup, juga akan berpengaruh pada rancangan taman, terkait dengan aktivitas dan fasilitasnya. Agar rancangan taman bisa diterima oleh masyarakat secara luas, maka diperlukan juga pengembangan pemaknaan terhadap rancangan taman tersebut. Sebagai taman yang memiliki keunggulan lokal, desain taman tradisional Bali peninggalan kerajaan-kerajaannya dapat direkontekstualisasi maknanya, untuk dapat bersaing di tengah persaingan global di bidang desain pertamanan. Hal ini antara lain dapat dilakukan melalui kreativitas dan inovasi kultural, untuk memperoleh makna baru tanpa merusak nilai-nilai esensialnya.
Actions (login required)
|
View Item |