ISI Denpasar | Institutional Repository

DISERTASI : Gamelan Perang di Bali (Abad ke-10 Sampai Awal Abad ke-21)

Hendra, Santosa (2017) DISERTASI : Gamelan Perang di Bali (Abad ke-10 Sampai Awal Abad ke-21). Documentation. ISI Denpasar, Denpasar, Bali.

[img] PDF (DISERTASI : Gamelan Perang di Bali (Abad ke-10 Sampai Awal Abad ke-21))
Download (3MB)

Abstract

Disertasi ini berisi kajian tentang gamelan perang di Bali, abad ke-10 sampai awal abad ke-21. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: pertama bagaimana asal-usul gamelan perang di Bali, kedua mengapa terjadi perubahan nama dari mredangga, bedug, dan kemudian menjadi tambur, ketiga apakah instrumentasi gamelan Mrĕdangga sama dengan instrumentasi gamelan Bheri, dan keempat bagaimana proses perjalanan gamelan Banjuran menjadi Adi Merdangga. Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang dilakukan dengan empat tahapan kerja yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Untuk menganalisa perubahan-perubahan yang terjadi, antara lain menggunakan teori perubahan perubahan yang dicetuskan oleh Claire Holt dimana perubahan dipicu oleh faktor eksternal. Selanjutnya perubahan dari John E. Keamer yang menyebutkan bahwa inovasi bisa berasal dari salah seorang anggota kelompok masyarakat yang bersangkutan (atau senimannya), maka dengan demikian konsep perubahan taksu dan jengah pada masyarakat Bali diterapkan dalam membedah perubahan yang terjadi pada gamelan perang. Untuk melihat perkembangan dan penyebarannya dipergunakan teori dari Bourdieu tentang habitus dimana kebiasaan merupakan pusat tindakan. praktik-praktik merupakan kegiatan reflektif dan produktif. Perkembangan gamelan perang di Bali tidak terlepas dari tonggak-tonggak peristiwa sejarah di Bali. Gamelan Perang di Bali pada dewasa ini ada yang dibawa dari luar dan ada yang berkembang asli dari Bali sendiri. Mredangga adalah instrumen ataupun gamelan yang dibawa dari luar Bali dan memang berfungsi sebagai gamelan untuk memberikan semangat dalam peperangan, kemudian berkembang menjadi Bedug, Tambur, dan terakhir menjadi gamelan Ketug Bumi. Sedangkan gamelan perang asli dari Bali adalah abanjuran atau banjuran, ganjuran, kalaganjur, balaganjur dan kemudian berkembang menjadi Adi Merdangga. Tidak satupun kata balaganjur tersurat dalam naskah-naskah kuna, dan dipergunakan dalam peperangan, namum dari berbagai tulisan seniman dan cendikiawan karawitan Bali yang mengartikan bahwa balaganjur adalah gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi tentara yang sedang berbaris, maka dimasukanlah balaganjur ke dalam gamelan perang. Perkembangan gamelan perang di Bali pada awal abad 21 ini tentunya dihadapkan pada persoalan nilai-nilai filsafat, etika, estetika, dan teknik berkesenian dalam hubungannya dengan permasalahan sosial, budaya, pariwisata, dan agama. Maka gamelan perang telah menjelma menjadi gamelan dengan nuansa yang baru. This dissertation discusses Balinese war gamelan from the 10th to the 21st century in attempt to address the following questions: first how Balinese war gamelan came into existence; second, why the name was changed from mredangga into bedug, and later tambur; third, Is the instrumentation of Mrĕdangga gamelan the same as the instrumentation of Bheri gamelan; and fourth; how Banjuran gamelan changed into Adi Merdangga. The study involved a four-step method of historical study that consists of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Claire Holt’s theory of change, according to which changes are caused by external factors, was used to analyze the changes related to the war gamelan. In addition, John E. Keamer’s theory of change, which argues that innovation can also come from a member of the society (or, in this case, an artist), was also consulted. Thus, the concept of changes in taksu and jengah in Balinese society were elaborated in order to investigate the changes in the Balinese war gamelan. To delve into the development and the spread of Balinese war gamelan, the notion of habitus from Bourdieu, who argue that habits are center to actions and that practices are reflective and productive activities. The development of war gamelan in Bali cannot be separated from the related important historical events that took place there. Today’s Balinese war gamelan ensemble consists of elements originating from outside as well as from Bali itself. Borrowed from outside Bali, Mredangga, for example, was used to heighten soldiers’ spirit during a battle. The instrument developed later into Bedug, Tambur, and finally Ketug Bumi gamelan. Abanjuran or banjuran, ganjuran, kalaganjur, and balaganjur, which developed into Adi Merdangga, originated from Bali. The existing old manuscripts mention neither the word balaganjur nor its being used in war, but writings by Balinese karawitan artists and scholars mention balaganjur as a style of gamelan played to accompany soldiers’ march and that it is thus considered as a style of Balinese war gamelan. The development of the art of Balinese war gamelan in the 21st century is situated amidst various philosophical, ethical, esthetical, artistic, social, cultural, tourism, and religious issues. In this context, Balinese gamelan war has transformed into a style of gamelan with new nuances. Subject : 1. History 2. Bali 3. Gamelan 4. War

Item Type: Monograph (Documentation)
Subjects: N Fine Arts > NX Arts in general
Divisions: Document
Depositing User: Jaya Semadi I Gst Ngurah
Date Deposited: 08 Oct 2019 01:41
Last Modified: 08 Oct 2019 02:33
URI: http://repo.isi-dps.ac.id/id/eprint/3422

Actions (login required)

View Item View Item