ISI Denpasar | Institutional Repository

Kebudayaan sebagai identitas masyarakat Banyumas

Sap, Tono (2010) Kebudayaan sebagai identitas masyarakat Banyumas. Artikel Bulan Agustus 2010, 8. pp. 1-3.

[img]
Preview
PDF (Kebudayaan sebagai identitas masyarakat Banyumas) - Published Version
Download (70kB) | Preview

Abstract

Pada prinsipnya kebudayaan Banyumas merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa, namun dikarenakan kondisi dan letek geografis yang jauh dari pusat kekuasaan keraton. Dengan demikian latar belakang kehidupan dan pandangan masyarakat Banyumas sangat dijiwai oleh semangat kerakyatan yang mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari budaya Jawa (kearaton). Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada penampilan (perilaku) yang jika dilihat dari kacamata budaya keraton terkesan kasar dan rendah. Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasi semangat kerakyatan, cablaka (transparancy) explosure (terbuka) dan dibangun dari kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian karena disebabkan wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajan besar (Jogyakarta, Surakarta). Hal demikian mengakibatkan perkembangan kebudayaannya secara umum berlangsung lebih lambat dibanding dengan kebudayaan negarigung keraton. bahasa Bagi masyarakat Banyumas, bahasa Bayumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Hal ini seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, orang Jawa memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai kebudayaan Banyumas selain memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial kuna yang khas, juga memiliki logat Banyumas yang berbeda (Koentjaraningrat, 1994:25). Di Banyumas, bahasa Banyumasan memiliki ciri-ciri khusus. Dalam wawancara di rumahnya tanggal Maret 2006, Yusmanto menceritakan bahwa bahasa Banyumasan dapat dibedakan dengan bahasa Jawa lumrah, antara lain: (1) berkembang secara lokal hanya di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas, (2) memiliki karakter lugu dan terbuka, (3) tidak terdapat banyak gradasi, (4) digunakan sebagai bahasa ibu oleh sebagian besar masyarakat Banyumas, (5) mendapat pengaruh dari bahasa Jawa kuno, Jawa tengahan, dan Sunda, (6) pengucapan konsonan di akhir kata diucapkan/dibaca dengan jelas, tidak jarang dikatakan ngapak-ngapak, (7) pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca dengan jelas. Kehidupan Religi Agama adalah merupakan unsur yang paling penting di dalam kehidupan manusia untuk membentuk jati diri sipemeluknya. Masyarakat di wilayah Kabupaten Banyumas secara mayoritas memeluk agama Islam, dan selebihnya beragama Kristen, Budha, dan Hindu. Hal ini bisa dilihat dari sarana peribadatan yang ada. Data dari kantor agama Kabupaten Banyumas tahun 2003, yang tercatat, seperti Masjid sebanyak 1.385, Musholla 302, Langgar 5.087, Gereja Katholik 11, Gereja Kristen 85, Vihara 17, dan Pura 3. Semua tempat peribadatan tersebut tersebar di 29 wilayah kecamatan, yang masing-masing kecamatan jumlahnya tidak sama. Namun demikian, kegiatan religi yang dilakukan masyarakat Banyumas masih memadukan budaya yang sudah dimiliki sebelumnya dimana dapat dikategorikan sebagai wujud sinkretisme. Sinkretisme adalah pencampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal (Ulil Abshar Abdalla, 2002:458). Hal ini sependapat dengan Ahimsa Putra (2001:355), bahwa sinkretisme pada prinsipnya merupakan hasil yang dicapai dari proses untuk mengolah, menyatukan, mengkombinasikan dan menyelaraskan dua sistem atau lebih, yang berlainan atau bahkan berlawanan sehingga terbentuk sistem prinsip baru dan menjadikan berbeda dengan prinsip sebelumnya. Pengaruh kebudayaan India (Budha-Hindu) terhadap kebudayaan Banyumas terutama dapat dilihat artefak peninggalan sejarah dan sistem kepercayaan masyarakat Banyumas yang dekat dengan sistem kepercayaan pada kedua agama tersebut. Dalam hal sistem kepercayaan, pengaruh Hindu-Budha tercermin pada kuatnya kepercayaan animisme, dinamisme, totemisme, dewa-dewi serta kekuatan-kekuatan supranatural yang datang dari alam dan roh nenek-moyang. Di daerah Banyumas terdapat berbagai macam ritual yang dilakkan secara berkala yang dihitung berdasarkan kalender Jawa maupun pranata mangsa. Misalnya: ritual ruat bumi, suran, penjamasan pusaka pada bulan Mulud, sadranan, unggah-unggahan pada bulan Sadran, udhun-udhunan pada bulan Syawal, cowongan untuk minta hujan yang biasanya dilaksanakan pada setiap mangsa kapat dan kelima. Dalam kehidupan sosial, masyarakat Banyumas akrab sekali dengan foklor yang sangat dipengaruhi oleh ajaran animisme-dinamisme dan perkembangan Islam abangan. Kepercayaan terhadap takhayul, kekuatan-kekuatan supranatural yang melingkupi hidup manusia dan kepercayaan tentang ketuhanan menggambarkan pencampuran antara sistem kepercayaan dan ajaran agama. Contoh konkrit yang dapat dijumpai dalam mantra-mantra tradisional. Seorang berjalan ditempat-tempat yang angker pada tengah hari atau sendekala, akan mengucapkan mantra tradisional “humilah millahum mbah putune bade/ajeng liwat”, “cempe-cempe undangena barat gedhe tek upahi jangan tempe”. Dengan demikian selain masyarakat di Banyumas taat menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama, dalam kesehariannya mereka juga menjalankan adat budaya sinkretisme. Kegiatan semacam ini bisa dilihat dari adanya kegiatan-kegiatan ritual seperti selamatan, resik, jabel, dan sebagainya. Doa yang dipanjatkan kepada Tuhan dengan menggunakan doa-doa menurut agama Islam atau Kejawen yang dilengkapi dengan sarana pendukung sesaji. Doa-doa menurut agama Islam biasanya dengan menggunakan syair bahasa Arab sedangkan kejawen menggunakan bahasa Jawa atau bahasa setempat. Dalam masyarakat Bayumas, tradisi selamatan biasanya dilaksanakan dirumah yang bersangkutan (punya hajat) dengan mengundang tetangga-tetangga dekat untuk makan bersama. Tradisi ini sering diistilahkan dengan kenduren, kepungan, wilujengan atau bancakan yang biasanya dilaksanakan pada petang hari (setelah sembahyang Maghrib). Selamatan ini diwujudkan dengan nasi tumpeng beserta lauk-pauknya (dalam pertunjukan Jemblung disebut komaran) yang sebagian nantinya akan dimakan bersama, dan selebihnya akan dibagi secara adil untuk dibawa pulang sebagai berekat (berkah) sesuai jumlah yang diundang. Sedangkan yang diundang bapaknya (orang tua laki-laki) dan jika bapaknya berhalangan hadir akan bisa diwakili oleh anaknya yang laki. Jika kebetulan sebagian yang diundang tidak bisa datang, nantinya jatah mereka yang disebut “bandulan” atau “berekat” akan diantar ke rumahnya. Ungkapan Tradisi selamatan bentuknya bermacam-macam, misalnya yang berkaitan dengan lingkaran hidup dalam kelahiran bayi atau muyen (ketemu bayen). Dalam tradisi ini di Banyumas, dimulai dari kandungan (mbobot) umur 4 bulan, kemudian 7 bulan (mitoni atau keba). Setelah bayi lahir masih dilanjutkan dengan selamatan untuk puput puser, sepasaran dan selapanan yang setiap malamnya diadakan tirakatan. Masih dalam rentetan kelahiran, ada upacara-upacara selamatan untuk memperingati setiap jatuhnya hari sepasaran (weton) nya anak dengan dibuatnya bancakan kecil. Bancakan keci untuk memperingati hari weton (pasaran) anak dan pesertanya anak-anak kecil disebut dengan isilah “among-among” yang dilaksanakan pada siang hari. Resik adalah suatu proses kegiatan untuk membersihkan diri dari malapetaka dan memohonkan ampunan dosa leluhurnya kepada Tuhan dengan cara nyekar ke kuburan di desanya. Misalnya jika salah satu anggota masyarakat akan punya hajat/gawe, mereka membawa kembang telon (bunga bermacam tiga), menyan bisa dibakar atau bisa tidak, dan upet bilamana kemenyan tersebut akan dibakar. Upet bagi masyarakat Banyumas biasanya terbuat dari tepes (kulit kelapa) atau mancung (kulit bunga kelapa). Jika salah satu masyarakat mau punya hajat tertentu gawe entah itu sunatan atau mantu perkawinan, biasanya satu minggu sebelum hari pelaksanaannya. Tradisi jabel pelaksanaannya dilakukan di sawah jika menjelang panen padi yang diwujudkan dengan sesaji sajen yang berisi kembang telon, menyan, jajan pasar dan yang tidak ketinggalan adanya gula merah dan kelapa agak muda (kemuping) yang sudah dikupas dari batok atau tempurungnya serta bandos. Bandos dibuat dari campuran antara beras, kelapa, gula merah, dan garam dengan cara ditumbuk. Keunikan tradisi jabel tersebut, dan jika sudah diberikan doa, kemudian makanan yang ada diambil oleh orang lain dengan mengucapkan kata-kata “ngeong” (suara kucing) atau ngucing. Selain proses kegiatan untuk membersihkan diri dengan cara nyekar tersebut masih ada upacara ritual lainnya seperti tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Banyumas, diantaranya Penjamasan Jimat, di beberapa desa seperti di desa Kalisalak dan desa Gambarsari kecamatan Kebasen, serta di Kalibening desa Dawuhan kecamatan Banyumas, dan Upacara Penjaroan. Di desa Kalisalak dan desa Gambarsari, konon penjamasan atau pensucian benda-benda keramat dari Peninggalan Sunan Amangkurat 1 dari kerajaan Mataram yang dilaksanakan setiap tanggal 12 & 13 bulan Maulud. Upacara ritual ini diawali dengan dikeluarkannya pusaka atau jimat oleh juru kuncinya dari tempat penyimpanan yang kemudian di tempatkan ditempat yang sudah disiapkan. Upacara Tradisional Jaro Rojab. Prosesi upacara untuk mengganti jaro yang terbuat dari bambu yang mengelilingi seluruh kompleks Masjid Saka Tunggal di desa Cikakak kecamatan Wangon Upacara tersebut dilaksanakan setiap tanggal 26 dan 27 Rajab dalam hitungan aboge, yaitu mundur satu hari dari hitungan tahun Hijriyah. Upacara tahunan ini dilaksanakan oleh masyarakatnya untuk memperingati atas meninggalnya Syekh Kyai Mustholih yang dimakamkan disekitar Masjid Saka Tunggal. Prosesnya bambu dibawa secara sukarela oleh penduduk setempat kemudian dibuat bahan jaro (pagar) dan sebelum dipasang dicuci dengan air sungai yang ada di sekitar kompleks makam.

Item Type: Article
Subjects: N Fine Arts > NX Arts in general
Divisions: Publication Unit > Article
Depositing User: Users 2 not found.
Date Deposited: 01 Oct 2010 07:10
Last Modified: 04 Oct 2010 06:51
URI: http://repo.isi-dps.ac.id/id/eprint/74

Actions (login required)

View Item View Item