War, dizal
(2010)
Syamsimar Sebagai Tukang Dendang.
Artikel Bulan April 2010, 4.
pp. 1-2.
Abstract
Syamsimar, lahir Jorong Guguak Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 1945. Tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang kurang mampu dimana orang tua laki-laki (Datuk Tumbijo) berprofesi sebagai petani dengan menyambi sebagai tukang saluang dan orang tua perempuan (Rakiah) sebagai ibu rumah tangga. Latar belakang pendidikan orang tua laki-laki, tidak begitu mengembirakan dengan arti kata tidak pernah sekolah. Sedangkan orang tua perempuan sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) naman tidak sampai tamat. Syamsimar sendiri berhasil menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat bertempat di tanah kelahirannya di Jorong Guguak, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Profesi orang tua laki-laki sebagai petani, tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga. Menurut pengakuan Syamsimar, pada masa dahulu (dekade 60-an) kehidupan ekonomi masyarakat secara umum betul-betul dalam masa-masa sulit. Situasi sosial, politik, dan keamanan pada masa itu juga serba tidak menentu. Oleh karena itu, peluang dan kemampuan berusaha warga masyarakat juga sangat terbatas. Namun, apapun situasinya, proses kehidupan harus berjalan dan berlanjut. Untuk mencukupi kehidupan ekonomi keluarga, Datuk Tumbijo sang Ayah melakoni profesi lain dengan menyambi sebagai tukang saluang (mengiringi dendang dengan intrumen saluang). Dalam perkembangannya kemudian, profesi tambahan sang ayah ternyata cukup mampu menutupi kebutuhan ekonomi keluarga, walau hanya untuk keperluan makan sehari-hari (Wawancara, tanggal 15 Agustus 2009).
Profesi sang Ayah sebagai tukang saluang –disamping bertani sebagai pekerjan utama- menjadi faktor pendorong utama perjalanan kehidupan dan proses kesenimanan syamsimar dikemudian hari. Syamsimar kecil sering diajak sang ayah ke acara-acara bagurau (pertunjukan saluang dendang) di daerah-daerah sekitar kampung tempat tinggal. Tidak ada maksud lain, hanya keinginan menyenangkan hati sang anak dan sebagai ujud atau ungkapan kasih sayang dan perhatian sang Ayah. Namun sejarah berkata lain, rutinitas keikutsertaan Syamsimar dalam mendampingi sang ayah pada acara-acara bagurau (pertunjukan saluang dendang), tanpa disadari telah menjadi proses pendidikan non formal pada diri Syamsimar dalam mempelajari dan memahami dendang Minanngkabau. Seiring dengan perjalanan waktu, Syamsimar tumbuh sebagai sosok wanita Minangkabau yang mempunyai bakat dan talenta dalam pertunjukan dendang. Setelah melalui proses pematangan dan pencarian jati diri yang cukup panjang, Syamsimar ’memproklamirkan’ diri sebagai pendendang wanita pada umur 20 tahun (tahun 1965).
Dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya, Syamsimar telah melangsungkan pernikah sebanyak 4 (empat) kali. Pernikahan pertama dilangsungkan Syamsimar pada umur 14 tahun (1959) dengan seorang petani Malin Putiah dan cerai hidup. Pernikahan kedua dilakukaan Syamsimar pada umur 17 tahun (1962) dengan dengan Malin Suleman, seorang tukang rumah/perabot. Pernikahan ketiga dilakukan pada tahun 1964 dengan Kinan, seorang petani. Untuk menunjang kelancaran profesinya sebagai tukang dendang, Syamsimar menikah untuk keempat kalinya dengan Yusri lelo Sati pada tahun 1966 seorang Tukang Saluang dan mendirikan goup kesenian ”Minang Maimbau”.
Keputusan untuk menjadi tukang dendang diambil lebih didasarkan kepada faktor ekonomi. Berdasarkan pengalaman pribadi selama mendampingi sang ayah, Syamsimar meyakini dengan melakoni profesi sebagai tukang dendang cukup mudah mendapatkan uang. Di samping itu, juga karena dorongan bakat dan talenta serta lingkungan keluarga dimana ayah dan suami sebagai seorang tukang saluang. Syamsimar juga melihat, bahwa dendang pada hakekatnya berisikan ungkapan suara hati terhadap berbagai fenomena kehidupan yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, jika dicermati secara mendalam hampir semua teks nyanyian dendang (pantun) berisikan jeritan, ratapan bahkan juga nasehat terhadap berat dan sulitnya menjalani kehidupan.
Syamsimar merupakan sosok seniman yang ditempa dalam lingkungan agama (Islam) dan adat Minangkabau yang begitu kuat. Selama masa perjalanan hidupnya dihabiskan di kampung halaman Parahyangan, Tanah Datar. Wanita Minangkabau dihadapkan kepada berbagai pantangan dan larangan yang ”dianggap’ dapat memberi malu kepada kaum kerabat pesukuan. Melibatkan diri dalam aktivitas berkesenian merupakan perbuatan sumbang yang kurang pantas dilakoni oleh kaum perempuan. Dalam kungkungan adat yang cukup membelenggu tersebut, Syamsimar mampu eksis dan menempa dirinya menjadi seorang tukang dendang. Kemampuan untuk bertahan dan menunjukkan eksisitensi di tengah masyarakat tidak terlepas dari dukungan keluarga, baik orang tua, mamak maupun anak dan suami. Hal yang paling utama adalah, rasa keberterimaan masyarakarat terhadap kehadiran Syamsimar sebagai seniman tukang dendang wanita. Respon dan sambutan yang bagus dari bebagai lapisan masyarakat telah mengantarkan Syamsimar ke dapur rekaman. Mulai rekaman pertama tahun 1967 sampai rekaman rerakhir tahun 2001 dilakukan dalam naungan perusahaan rekaman Tanama Record Padang. Sampai sekarang (yang masih diingat oleh Syamsimar), 50 buah master kaset rekaman saluang dendang telah dihasilkan. Sukses yang diraih juga berdampak terhadap kehidupan ekonomi keluarga Syamsimar. Anggapan awal Syamsimar bahwa dengan menjadi tukang dendang akan lebih mudah mendapatkan uang tampaknya menemukan pembenaran. Dari penghasilan sebagai tukang dendang, Syamsimar bisa membikin rumah, membeli mobil, menabung dan memagang (menyewa) sawah.
Masa-masa kejayaan syamsimar sangat dirasakan pada dekade 70-an (mulai top 1967). Alunan suara dan sentilan-sentilan pantun yang didendangkan dan lebih banyak merefleksikan fenomena sosial sangat disukai banyak orang. Ribuan kaset rekaman dendang Syamsimar telah tersebar secara luas di tengah masyarakat. Nama Syamsimar begitu melegenda, fenomenal bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu penyangga musik tradisional Minangkabau, khususnya musik vokal (dendang). Sejak tahun 2003, Syamsimar telah berhenti secara total dari hiruk pikuknya pertunjukan saluang dendang di Minangkabau. Di samping usia yang sudah uzur (64 tahun), Penyakit stroke yang dideritanya telah mengantarkannya lebih banyak dipembaringan tempat tidur. Namun demikian, dedikasi dan sumbangsihnya dalam pengembangan dan pelestarian musik vokal Minangkabau (dendang) hampir tak tergantikan sampai sekarang.
Actions (login required)
|
View Item |