ISI Denpasar | Institutional Repository

Patung Lingga Yoni Posmodern

I Ketut, Buda (2010) Patung Lingga Yoni Posmodern. Isi Denpasar, Sari Kahyangan Indonesia, Jl. Gustiwa B1 Denpasar. ISBN 978-602-8574-08-2

[img]
Preview
PDF (Patung Lingga Yoni Posmodern) - Cover Image
Download (260kB) | Preview

Abstract

Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003: 80-81). Dengan berkesenian manusia dapat menunjukkan eksistensinya. Kesenian juga merupakan suatu proses kreatif bagi seorang seniman, lahir dari endapan pengalaman yang panjang. Kesenian yang ditampilkan sangat bervariasi sesuai dengan kebebasan individu. Penciptaan dalam berkesenian tidak bisa lepas dari pengaruh ideologi. Keragaman seni memiliki variasi dalam bentuk maupun gaya. Gaya sangat erat dengan kreativitas. Gaya adalah suatu cara menyusun atau mengkombinasikan elemen-elemen di dalam seni, sastra, desain, dan arsitektur sehingga menghasilkan sebuah komposisi yang bermakna (Piliang, 2003:17). Kreativitas dalam gaya mencakup kreativitas cipta dan kreativitas teknik sehingga menimbulkan gaya cipta dan gaya teknik yang kedua-duanya memiliki keaslian.Kreteria karya seni yang tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan proses kreatif bagi seorang seniman untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam jiwa seniman sampai terwujud suatu karya seni tidak ada lain melalui proses kejiwaan yang didasari atas kesadaran-kesadaran pengalaman, intelektual, daya imajinasi, daya kreativitas yang tinggi beserta faktor-faktor lain yang ikut mendorong proses penciptaan tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor internal menyangkut bakat dan kemampuan seniman dalam teknik seni maupun apresiasi, dan faktor eksternal menyangkut pengalaman-pengalaman seniman serta lingkungan yang mendukung. Kedua faktor itu tadi diakumulasikan di bawah pengendalian kepribadian seniman yang mengandung gejala kejiwaan mulai dari persepsi yang melahirkan individualisasi atau gaya pribadi. Seni adalah hasil karya manusia yang meng- komunikasikan pengalaman batinnya. Seni rupa khususnya seni patung merupakan proses kreatif seorang seniman. Seni patung salah satu cabang seni rupa, merupakan pernyataan pengalaman dalam suatu bentuk nyata, telah hadir dalam setiap periode sejarah manusia dengan keanekaragaman ekspresi dan gayanya. Keanekaragaman itu terjadi berawal dari pandangan manusia yang selalu dinamis dalam ide, yang terefleksi dalam proses dan berakhir pada terbentuknya karya seni. Melalui proses kreatif tersebut dapat melahirkan karya-karya seni yang indah dan menarik. Seni patung sebagai salah satu bentuk kreativitas manusia termediasi melalui elemen-elemen dasar seperti kayu, untuk pembuatan patung. Dengan elemen itulah para perupa berkreasi dan mencurahkan segala kreativitasnya. Seni patung, tampak mengalami perkembangan yang sangat kompleks dilihat dari tataran wacana dan hasil dari refleksi ideologinya masing-masing. Begitu pula tampak secara empiris bahwa seni patung juga mengalami perkembangan konsep dan bentuk yang bervariasi sesuai dengan semangat perkembangan historis.Seni patung di Bali dibagi ke dalam empat periode yakni : (1) seni patung sebelum pengaruh Hindu, yaitu seni patung yang merupakan manipestasi dari penghayatan mereka terhadap leluhur yang telah meninggal dengan demikian patung-patung tersebut adalah bentuk seni yang bersumber pada kepercayaan dan bersifat sakral serta mengandung magis. Bentuk-bentuk perwujudan patung pada saat itu sangat sederhana. (2) Seni Patung pengaruh kebudayaan Hindu yaitu pada masa ini telah terlihat adanya suatu “gaya international” pada seni arca, dalam arti hampir sama dengan bentuk dan karakter yang terdapat di tempat lainnya seperti yang berpusat di Nalanda yang berakar pada kesenian Gupta. Pada saat ini digolongkan jenis arca Buddhisme dan siwaisme. (3) Seni Patung pada masa kontak dengan dunia Barat (modern) yaitu akibat kontak dengan kebudayaan barat, maka patung-patung yang muncul di Bali pada masa ini seni Patung yang bersifat baoque. (4) Seni Patung Masa colonial telah mempengaruhi Bali khususnya di Bali Utara memperlihatkan corak akulturasi dengan kebudayaan Barat seperti yang terlihat pada relief di Pura Beji Sangsit (Widya, 1991: 1-7). Pada perkembangan selanjutnya seni patung mengalami perkembangan yang sangat pesat dilihat dari banyaknya seniman yang telah memberikan sentuhan dan variasi ke dalam setiap hasil karyanya. Perbedaan dari hasil karya yang dilatar belakangi oleh semangat spirit kejiwaan dan pengaruh naturalnya maka timbul hasil karya yang bervariasi. Karya patung inovasi tersebut memunculkan suatu perdebatan karena dirasa masih baru terhadap konsep seni yang tersebut. Wacana seni patung sedang dalam pergulatan, mencari sesuatu yang sesuai dengan semangat zamannya. Pergulatan seni patung sangat inplisit dan berjalan dalam keadaan yang “diam” namun secara radikal telah membangun dialektika dan lebih dari itu terjadi dekonstruksi terhadap wacana seni patung sebelumnya. Walaupun dalam hal ini dapat disimak dalam wacana seni rupa “tradisional” dan wacana memasuki seni rupa “modern” yang berkontestasi dalam ruang-ruang kebudayaan dan seni pada khususnya belum berakhir, namun perhelatan tersebut jelas telah melahirkan gagasan baru terhadap seni patung itu sendiri. Pada ruang seni inilah terjadi perlawanan atau mempertanyakan kembali secara epistemologi yang mengarah pada meredefinisikan kembali ideologi-ideologi atau gagasan-gagasan dalam perkembangan seni rupa terutama pada perkembangan seni patung kotemporer belakangan ini. Perkembangan seni patung setelah datangnya kolonialisme merupakan pintu dan jendela bagi terbukanya awal seni modern di Indonesia. Setelah masuknya seni modern itu tampak seni patung mengalami perkembangan baik dalam tataran konsep maupun secara riil (praktek) telah berjalan seperti di zaman globalisasi ini. Seniman Sukanta Wahyu telah memperlihatkan inovasinya, bagaimana telah terjadinya reproduksi seni kearah seni kontemporer yang terbalut ke dalam aliran posmodern.Perkembangan seni patung kontemporer dapat dilihat jelas pada karya seniman Sukanta Wahyu. Seni patung yang diusung adalah modifikasi dari konsep patung lingga yoni. Lingga yoni dalam tataran yang historis merupakan konstruksi religius yang berkonotasi sakralitas. Pemahaman yang sangat bebas dalam diri seorang seniman mengenai konsep lingga yoni berarti memberikan ruang-ruang dalam kontestasi dan representasi bagi identitas seniman terutama dapat dilihat dalam karya patung gaya Sukanta Wahyu.Sukanta Wahyu kreatif dalam bidang seni khususnya seni patung. Proses kreatif bagi seorang Sukanta Wahyu lahir dari endapan pengalaman yang panjang. Motif-motif pengalaman itu datang dari melihat momen estetis yang terjadi di sekitar, alam lingkungan, karya seni dan lainnya (eksternal). Ada pula motif-motif pengalaman Sukanta Wahyu muncul dari dalam jiwanya berupa imajinasi, intuisi, yang dapat berwujud sebagai inspirasi (internal). Kedua unsur pengalaman itu mengalami proses inkubasi sesuai dengan ruang dan waktu sehingga melahirkan dorongan untuk mengekspresikan ke dalam karya seni (patung). Sesuatu yang diekspresikan ke dalam bentuk karya patung sangat dipengaruhi oleh kondisi apresiasi masyarakat. Kualitas apresiasi sangat dipengaruhi oleh waktu, kapan karya itu diciptakan, misalnya karya seni patung zaman primitif sangat jelas identitasnya, demikian pula seni pada masa-masa berikutnya termasuk karya seni patung Sukanta Wahyu sangat jelas gayanya mewakili wacana zaman posmodern dewasa ini.Perkembangan pada abad ke-21 memperlihatkan terjadinya interpretasi yang sangat signifikan mengenai wacana lingga yoni tersebut. Ada beberapa penafsiran digunakan untuk mengkaji kembali mengenai makna-makna apa yang tercermin di dalam wacana. Mengkaji hal tersebut, bukannya tidak ada alasan melainkan untuk melihat kembali makna yang tersirat sesuai dengan semangat saat ini (kontemporer).Perwujudan patung lingga yoni tidaklah lagi dikonsepkan dengan bentuk yang seperti konvensional (dulu) atau tetap tanpa perubahan, namun telah mengalami perkembangan yang sangat berbeda. Pengkonsepan patung lingga yoni sudah tidak lagi seperti menyerupai bentuk aslinya yang dikenal populer pada zaman Bali kuno abad ke-11 hingga ke-14. Secara visual berbentuk pallus, terbuat dari batu bulat panjang atau berbentuk silinder ditancapkan pada bantalan berbentuk vulva yang disebut yoni dan sangat sederhana. Patung lingga yoni mulai terjadi perubahan konsep penggambaran. Paling jelas tampak perubahan tersebut yakni dalam bentuk dan bahan pembuatannya (materialnya). Lingga dibuat sesuai dengan penghayatan dan interpretasi dari seniman Sukanta Wahyu. Kebebasan berekspresi merupakan wujud di mana seniman telah melakukan suatu tindakan “dekonstruksi” terhadap interpretasi yang lama “status quo” mengarah pada reinterpretasi ulang memaknai arti simbol-simbol dan memberikan gaya (style) yang sangat berbeda sesuai dengan proses pencariannya dalam berkarya. Pengkonsepan mengenai patung lingga yoni tidak bisa dilepaskan dari pengaruh zaman yang mengarah pada mulainya akses ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat memberikan pengaruh di zaman sekarang, dikenal dengan mulainya globalisasi. Globalisasi juga mempengaruhi peninggalan patung-patung lingga yoni yang tersebar di Bali. Globalisasi yang sangat jelas terlihat yakni pada perkembangan pariwisata Bali yang membawa efek terhadap hampir semua tatanan yang terdapat di Bali. Efek tersebut antara lain terjadinya komodifikasi dari barang sakral menjadi profan. Di sini tentunya dapat terlihat dari salah satu pembuatan patung lingga yoni gaya I Made Sukanta Wahyu di Klungkung.Sukanta Wahyu telah menghasilkan puluhan karya patung dengan konsep lingga yoni dalam bentuk bervariasi. Patung tersebut dibuat dengan berbagai ukuran, bentuk, dan bahan yakni ada yang dibuat dari kayu dan batu. Setiap bahan itu pun dibedakan lagi sesuai dengan keadaan materialnya. Selain itu variasinya dapat dilihat dari komposisi objeknya. Patung-patung gaya Sukanta Wahyu merupakan suatu penggambaran bagaimana dia menginterpretasikan atau memainkan simbol-simbol sakral tersebut menjadi barang seni yang dapat diproduksi secara bervariasi sesuai dengan idenya yang diselaraskan dengan bentuk-bentuk materialnya secara alami. Ciri khas karyanya terdapat pada konsep lingga yoni. Setiap hasil akhir karyanya memiliki bentuk yang variatif baik bahan, ukuran, motif, maupun estetikanya.Sukanta Wahyu berusaha untuk mengembangkan konsep tentang lingga tersebut dalam ranah estetis dan lebih pada proses yang bersifat realis. Hal itu dapat diketahui dari pandangannya tentang memaknai lingga yoni dalam konteks kekinian. Secara jelas terlihat dalam karya-karyanya yang membangun suatu interpretasi yang berbeda dan banyak mengundang kesadaran yang belum terasah dengan baik mengenai konsep-konsep lingga yoni secara holistik. Pemikiran konsep lingga yoni menurut pandangan Sukanta Wahyu dapat memberi wacana yang lebih luas yang belakangan ini masih sangat sedikit yang membicarakan tentang pemaknaan lingga yoni.Karya Sukanta Wahyu terlihat jelas dari setiap hasil karyanya yang dia konsepkan mengenai lingga, tampak sangat realis. Itu berarti “hiper-realis” dalam pengertian seni patung sangat melekat dalam jiwa Sukanta Wahyu yang di dalamnya juga sarat dengan jiwa pemberontakan akan seni yang telah mapan. Seni selama ini dapat dikatakan mengalami kemandegan dan stagnan dalam imajinasi dan kreatifitas, justru Sukanta Wahyu memberikan pandangan baru mengenai konsep-konsepnya terutama tentang penafsiran baru mendeskripsikan atau penggambaran lingga yoni yang selama ini hanya ditafsirkan sebagai bentuk sakral semata.Proses berkarya Sukanta Wahyu diawali dari menggali lebih dalam pemahamannya mengenai lingga yoni. Perenungan dan hasil pemikirannya yang dituangkan dalam pahatan-pahatan kayu dengan penjiwaan dan penghayatannya telah menghasilkan sebuah karya yang berbeda, memberikan inovasi baru terhadap dunia seni khususnya tentang seni patung. Suatu hal yang sangat kreatif dan nampaknya seniman seperti Sukanta Wahyu dapat mengkombinasikan dan bahkan mengkonfigurasikan beberapa elemen atau zat atau bahan dalam karya-karyanya. Inilah yang memberikan keunikan tersendiri, memberikan ciri khas terhadap karya yang dia buat. Sebagai sosok yang sederhana dan berawal dari kesederhanaan dengan pengalaman-pengalaman yang telah dilalui dalam perjalanan hidupnya, membuat semakin matangnya ide dan imajinasi yang tumbuh menghiasi ditransformasikan ke dalam kayu sehingga menghasilkan karya yang imajinatif dan inovatif.

Item Type: Book
Subjects: N Fine Arts > NX Arts in general
Divisions: Faculty > Fine Arts and Design Faculty > Fine Art Department
Depositing User: Mrs Dwi Gunawati
Date Deposited: 15 Nov 2013 01:54
Last Modified: 15 Nov 2013 01:54
URI: http://repo.isi-dps.ac.id/id/eprint/1786

Actions (login required)

View Item View Item