ISI Denpasar | Institutional Repository

Karajinan Pigura Kaca di Desa Pengosekan

Gusti Agung , Jaya CK (2010) Karajinan Pigura Kaca di Desa Pengosekan. Artikel Bulan Oktober, 10. p. 1.

[img]
Preview
PDF (Karajinan Pigura Kaca di Desa Pengosekan) - Published Version
Download (215kB) | Preview

Abstract

Berbarengan dengan meroketnya kerajinan ayaman rontal (basket) pada tahun 1980-an berkembang kerajinan pigura kaca. Seni kerajinan pigura kaca merupakan transformasi seni lukis fauna-flora gaya pengosekan pada media kayu. Munculnya kerajinan ini berawal dari seorang antropologi asal Amerika bernama Joose adalah teman I Dewa Nyoman Batuan yang menginap dirumahnya. Selagi melukis Batuan didatangi oleh temannya, oleh karena di dalam kamarnya tidak ada kaca cermin. Joose minta agar kamarnya dilengkapi kaca cermin dengan bingkai dari kayu berukir. Sebagai seorang seniman yang kreatif dan kaya akan ide-ide baru,Batuan mendesain bingkai kaca untuk temannya. Desain tersebut memakai hiasan flora-fauna mirip lukisan gaya pengosekan yang dicetuskan oleh Dewa Made Kawan. Dalam mewujudkan bingkai kaca ini Batuan dibantu oleh 2 (dua) orang tukang togog (pematung) bersaudara. Meraka adalah I Wayan Meja dan I Made Meji tukang togog yang khusus membuat togog bedahulu. Setelah pigura kaca itu jadi, Batuan memperlihatkan dengan Joose sembari memasangkan dikamarnya. Ternyata Joose sangat senang dengan pigura kaca cermin yang bermotifkan flora-fauna itu. Semenjak itu, Batuan manyuruh tukangnya membuat 20 samapai 30 pice untuk di pajang di studio lukisnya. Setiap tamu yang datang mengunjungi studionya, disamping menikmati lukisan, mereka sangat tertarik dan membeli 2 sampai 3 pice pigura kaca yang bermotif hiasan alam flora-fauna itu, usai mengapresiasi karya-karyanya. Model pigura kaca yang dicetuskan Batuan bentuknya dapat dilihat pada gambar di bawah, yang mempresentasikan kehidupan pada alam fauna-flora. Burung kakak tua hadir bercanda hinggap pada dahan nyiur seolah merayakan pertemuan yang berbahagia. Daun nyiur yang berwana hajau serta kembang sepatu yang sedang mekar di bawahnya isyarat kesuburan alam memberika kesan kedamaian, dan ketenangan. Dilahat dari bentuknya yang terpola dalam segi empat nampak teresan kaku, tetapi imbangi dangan permainan garis pada bagian sisi atas menjadikan bentuk itu enak dipandang dan tidak kaku ketika dipasang pada dinding. Dalam tempo yang sangat singkat pigura kaca ini dilirik pasar dan semakin diminati kosmen, sehingga pada tahun 1988 mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari pengembangan produk maupun perajinnya. Nyoman Lasya seorang perajin dan pedagang mengatakan, pada dekade 1988 sampai tahun 1995 masyarakat di pengosekan hampir 60% bergayut pada kerajinan pigura kaca itu, oleh karena sangat menjanjikan. Kala itu, pesanan datang dari konsumen kapsitasnya cukup tinggi sampai perajin di pengosekan kewalah, sehingga banyak mencari tukang/tenaga kerja keluar daerah seperti Desa Silungan, Lodtunduh, Singakerta, dan lainnya. Perkembangan banyak terjadi, selain pengemabangan tenaga keraja, bentuk-bentuk dan desain kerajinan-pun berkembang, Sehingga muncul barbagai jenis produksi seperti tempat lilin, tatakan makanan/talam, sketsel/pembatas ruangan, kotak obat dan sebagainya. Lebih lanjut Lasya menjelaskan, pada tahun 1999 menlang tahun 2000, kerajinan pigura kaca ini mengalami penurunan peminat, sehingga beberapa perajin beralih pada pekerjaan lain. Disisi lain produk kerajinan pigura kaca flora-fauna ini tumbuh dan perkembang di luar pengosekan seperti desa Singakerta, Lodtunduh, dan lainnya. Mendasari beberapa keterangan diatas, dapat di prediksi bawah munurunnya minat konsumen terhadap poroduk pigura kaca flora-fauna diakibatkan oleh menurunya kualitas produk, tampak jelas pada penyelesainnya terkesan terburu-buru, desain selalu menotun dan banyak terjadi diduplikasi oleh perjin di luar Pengosekan yang berimplikasi terhadap persaingan yang kurang sehat antar pengopul. 1. a. Kerajinan Cenderamata Jenis kerajinan ini muncul setalah merosotnya produk kerajinan ayaman rontal sekitar tahun 1989. Berawal dari tangan kreatif seorang seniman yang ahli memainkan alat musik dari bambu yang lazim disebut rindik . Ia mencoba membuat instrunem sendiri sambil menunggu warung kopinya yang bertempat dijalan pengosekan. I Nyoman Warsa namanya sebenarnya, yang oleh masyarakat pengosekan Ia di panggil dengan sebutan Nyoman Kenekan. Keseharian aktivitasnya bermain gamelan gender, kadang mengiring pertujukan wayang lemah /wayang gedog, bermain rindik dihotel-hotel mengibur para tamu/wisatawan yang menginap di hotel. Ketika Warsa sedang bermain gambelan rindik di hotel Capuhan Ubud, minghibur para tamu yang sedang menikmati makanan di restorant hotel. Usai melantumkan satu lagu atau gending, Warsa didatangi seorang toris memberikan hadiah sebuah wind chimes atau meinan yang di gantung ketika ditiup angin muncul suara akibat bentur masing-masaing komponen main itu. Toris itu semabari mengucapkan this for you, I love it, yang artinya ”ini untuk kamu saya sangat suka itu” . Sejak memdapatkan hadiah itu, Warsa terinspirasi untuk membuat whind chames dari bambu dengan meniru desain wind chames pemberian dari seorang toris di Hotel Campuahan. Whind chames yang dibuatnya digantung di depan warung kopinya, saat angin kenjang melintas yang menggerakan pelantik suara yang tergantung ditengah –tengah bilah bambu yang nadanya sudah diseting, sehingga muncul suara merdu yang menerik setiap toris yang laulalang berjalan-jalan di depan warungnya. Secara tidak sengaja toris-torsi mempir ke warungnya sembari memperhatikan dan mendengarkan lantuman sura bamboo whind chames mereka (toris) membeli cool dringg atau segelas kopi. Apa yang dibuat Warsa tidak siasia, ternyata mendatangkan nafkah, whin chames ditiup angi segelas kopi dan sebotol minuman dingin terjual demikian selorohnya. Seiring dengan berjalannya waktu, sejalan dengan semakin berkembangnya industri pariwisata yang berimplikasi terhadap pembenah fasilitas terutama pada sektor impratsruktur. Dibenahinya jalan yang menghubungkan desa Nyuhkning yang menghubungi, obyek wisata mongky forest dan desa Pengosekan oleh Pemerintah Daerah Gianyar, berdampak terhadap semakin ramainya toris yang lalulang ke Pengosekan. Secara tidak langsung berdampak postif terhadap usaha whind chames buatan Warsa, saban hari laku dibeli oleh toris yang melewati warungnya. Pada tahun 1992 bambu whind chames semakin diminati konsumen, dan di buru oleh pelaku pasar. Semakin tuhun kebutuhan pasar semakin meningkat, tepatnya menjelang tahun 1998 mengalami perkembangan yang sangat signifikan baik darisegi perkembangan produk dan pengembangan perajin. Sesuai amatan di lapangan, mulai dari anak-anak. Remaja dan dewasa berkecimpung sebagai perajin whind chames.dari segi pekembangan produk dapat diamati munculnya diveriskasi produk. Sealin itu, perkembangan perkembangan kreativitas para perajin dan pemikiran-pemikiran estetik dan kualitas produk mulai dipehitungkan, dalam upaya bersaing merebut pasar. Mengamati bentuk-bentuk kerajinan di atas, nampak seni lukis fauna-flora gaya pengosekan tetap menjadi ikon sebagai elemen estetik pada produk kerajinan. Sautu hal yang sangat menarik dan saling menguntungkan satu sama lainnya.di satu sisi pelukis dapat pekejaan tambahandalam mengisi waktu luang, di sisi lain perajin tetap lancar dalam memproduksi barang kearjinan. Hal yang paling esensial dapat dicermati dipertahankannya seni lukie flora-fauna sebagai ikon desa pengosekan, adalah merupaka suatu kelebihan perajin yang tidak terdapat di daerah lain. Sejalan meningkatnya perkembangan kerajinan whind chames ini, perkembang pula jeni kerajinan cenderamata seperti karimbal, markas, bumerang, dan kura-kura goyang. Munculnya perkembangan jenis kerajinan ini di pengoseka disebabkan oleh permitaan konsumen yang langsung membawa contoh pada perajin. Jenis –jenis produk kerajinan cenderamata ini dapat diconto pada gambar di bawah, merupakan perkemangan bentuk-bentuk kerajinan yang saat ini masih tetap eksis di Pengosekan. Mencermati produk kerajinan cenderamata di atas, dari bentuk dan pewarnaannya nampak masyarakat perajin di Pengosekan terbuka dan mudah meneriama pengaruh badaya luar. Terbukti secara tidak langsung wawasan perajin terbuka terhadap kesenian yang ada diluar dirinya, seperti bumerang dan karimba bukanlah alat musik dan alat permainan yang ada di Bali, kalau di cermati dari penerapan warna dengan teknik pointil dapat diiterpretasikan bahwa jenis kesenian itu merupakan kesenian dan buaya orang aburijin. Adalah suatu kelebiham masyarakat perajin Bali khusu di Pengosekan hanya sekejap mata mampu meniru kesenian dan budaya luar.

Item Type: Article
Subjects: N Fine Arts > NX Arts in general
Divisions: Publication Unit > Article
Depositing User: Users 2 not found.
Date Deposited: 11 Jan 2011 07:18
Last Modified: 11 Jan 2011 07:18
URI: http://repo.isi-dps.ac.id/id/eprint/457

Actions (login required)

View Item View Item