A.A Ayu , Kusuma Arini
(2011)
Taman Ujung Yang Dibangun Oleh Seorang Seniman.
Artikel Bulan Juni (2011), 2 (6).
p. 1.
Abstract
Setelah kerajaan Cakranegara dan Mataram Lombok dikalahkan Belanda tahun 1894 hingga seorang raja tua diasingkan ke Batavia maka secara otomatis kerajaan Karangasem dengan Stedehauder I A.A.Gede Djelantik yang dilantik tahun 1896, di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Karena beliau tidak berputra, sebagai penggantinya telah dipersiapkan seorang keponakannya yakni A.A.Bagus Djelantik yang sejak kecil telah memperlihatkan bakat dan kecakapannya. Selanjutnya A.A.Bagus Djelantik yang lahir tahun 1890 dilantik menjadi Stedehauder II tahun 1908, adalah seorang seniman dan sekaligus pembina kesenian. Jabatan yang pernah dipangku adalah Zelbestur der Karangasem atau Regent Karangsem (1929-1942) dengan gelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem atas persetujuan Residen Caron, Sijuco Karangasem (1942-1945) dan raja Karangasem (1945-1950). Sebagai pemimpin daerah, walaupun kondisi Karangasem tandus, tetapi kesenian tidak dibiarkan mengering. Beliau memiliki wawasan yang luas serta pengamatan yang tajam terhadap berbagai cabang seni. Dalam seni ukir dan arsitektur, beliau mendisain berbagai ukiran semen untuk hiasan tembok maupun pot bunga di taman-taman yang dibangunnya dengan corak campuran tradisional Bali, Belanda dan Cina. Kegemaran membuat kolam ini, nampak juga di Puri Maskerdam di area kompleks Puri Agung yang di tengah-tengahnya dibangun Bale Gili sebagai tempat parum (rapat) dan menjamu para tamu.
Dalam hal seni tari, beliau sering mengunjungi dan membina seka-seka kesenian. Putra-putra beliau yang tertarik akan seni tari, dipanggilkan guru tari yang tenar seperti I Nyoman Kakul dan yang lainnya. Adapun pengalaman yang mengesankan adalah ketika beliau melakukan muhibah dua kali ke keraton-keraton Paku Buwono X, Mangku Negara VII dan Sri Paku Alam VIII di Solo, dengan membawa rombongan kesenian. Pada tahun 1928 beliau membawa kesenian Legong dari Kuta-Badung bersama I Wayan Lotering. Muhibah kedua dilakukan tahun 1935 pada waktu pembukaan Museum Sono Budoyo, membawa kesenian Topeng dan Legong dari Karangasem. Setelah kunjungan tersebut hubungan kekerabatan dengan keraton Solo semakin akrab. Salah seorang penari Legong yang ikut dalam rombongan tersebut Jero Intaran menuturkan bahwa tarian Legong yang dibawa adalah Legong Lasem dan Jobog. Guru tari Legong terkenal I Gusti Gede Raka dari Saba – Gianyar menuturkan, bahwa setelah rombongan kembali dari Solo penyebutan tari Legong lalu menjadi Legong Keraton hingga kini karena tari Legong pernah dipentaskan di Keraton Solo.
Actions (login required)
|
View Item |